Selasa, 27 Maret 2012

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM


PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

Triya Indra Rahmawan

Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada baiknya kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan fisafat itu sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak (1992 : 03). Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hokum Indonesia Wirjono Prodjodikoro (1992 : 9), adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang – orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu – satunya tujuan dari hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo (1975 : 21) berpendapat, bahwa hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai – nilai tertentu (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 13).
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai – nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.

Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli

Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.


Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.

Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hokum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.

Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.

E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:berlakunya hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.

Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.

L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika

Ruang Lingkup Objek Kajian Filsafat Hukum;

Objek Kajian Filsafat Hukum; Ruang Lingkup

Objek pengkajian filsafat hukum
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.

Manfaat Belajar Filsafat Hukum

Manfaat Belajar Filsafat Hukum
Urgensi dan relevansi filsafat hukum

Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.

Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM


ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM
http://patricia-seohyerim.blogspot.com/

Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini kitadihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbuktibahwa hukum berkembang dalam masyarakat, ³Ibi ius ibi societas´ dimana ada masyarakatdisitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a.Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhabformalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociologicalyurisprudence dan Aliran realism hukum.
b.Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukummurni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
c.Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagaiberikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociologicaljurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
1.Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan,
filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan Thomas Aquino.
a.Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram
b.Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teoridualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c.Thomas Aquino : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´. Membagi asas
hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i.Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir
dan bersifat mutlak.
ii.Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah
menurut tempat dan waktu
d.Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran
akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah diperlukan iman.Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum,Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas denganmenyatakan ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia) dan lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abadpertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaituberisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
a.Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
-Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada
di luar bidang hukum.
-Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad
pengaruhnya pada masyarakat.
-Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab
sejarah.
-Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagihukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagiberikut;y
-Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
-Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
-Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
-System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan
di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukummurni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkanhukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karenahukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia ³sollen´dan bukan dalam dunia ³sain´. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akalmanusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangandengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipeloporiFriedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaansumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positifsosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupunpengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a
tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumberhukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan ³movement´ dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
-Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mencerminkan nilai sosial budaya.
-Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung
sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakanpendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN


PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN


oleh : Imran Nating, SH.

I. Mazhab Hukum Alam

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam bermunculan dari masa ke masa.

Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati.

Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi.

Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius;

Aristoteles;
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positip.

Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.

Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum (hukum alam) juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum privat.

Thomas aquinas;
Dalam membahas hukum Thomas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau akal budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’(ius naturale), hukum bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).

Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam yang menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang

Hugo grotius;

Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.

Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah;

hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan.
hak untuk berkuasa atas orang lain

hak untuk berkuasa sebagai majikan

hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.


Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni:

prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga

prinsip kesetiaan pada janji

prinsip ganti rugi

prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.

Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.

II. Mazhab Formalistis
Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.
Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
John Austin;
Austin mendefenisikan hukum sebagai;


“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:
1. Perintah

2. Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)

3. Kewajiban

4. Kedaulatan.
Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui hukum Alam atau moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu tidak penting bagi hukum.

Hans Kelsen;
Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang hukum (pure Thory of law).

Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum harus di patuhi.
Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.
Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika. Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen adalah masalah ilmu politik.

III. MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH

Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine


Friedrich Carl Von Savigny;

Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.

Sir Henry Maine;
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.

Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.


IV. MAZHAP UTILITARIANISM

Pada mazhap ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.

Jeremy Bentham;
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.

Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.
Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von Jhering;

Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.

Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.

Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

V. MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound
Eugen Ehrlich;
Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912).

Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.

Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Roscoe Pound;
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.

Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

VI. MAZHAB REALISME HUKUM

Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.

Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.

Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.


Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.

sumber http://www.solusihukum.com/artikel/artikel18.php

MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM

MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM

FILSAFAT HUKUM
Pengertian

• Filsafat : berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein artinya cinta. Sophia artinya kebijaksanaan.
• Filsafat : berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein artinya cinta. Sophia artinya kebijaksanaan.
• Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
• Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
Obyek Filsafat
Obyek Filsafat
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
Obyek Filsafat
Obyek Filsafat
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
Unsur Filsafat
Unsur Filsafat
• Unsur internal : meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi.
• Unsur internal : meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi.
2. Unsur eksternal : meliputi ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan ideologi.
2. Unsur eksternal : meliputi ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan ideologi.
PENGERTIAN

• E. Utrecht :
• E. Utrecht :
• Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch waardeoordeel.
• Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch waardeoordeel.
• Ilmu hukum sebagai ilmu empiris, hanya melihat hukum sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka
• Ilmu hukum sebagai ilmu empiris, hanya melihat hukum sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka
Menurut Mr. Soetika
Menurut Mr. Soetika
Filsafat hukum adalah :

• mencari hakikat dari hukum;
• mencari hakikat dari hukum;
• mengetahui apa yang ada dibelakang hukum;
• mengetahui apa yang ada dibelakang hukum;
• menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
• menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
• memberikan pertimbang an dan nilai ; penjelasan mengenai nilai.
• memberikan pertimbang an dan nilai ; penjelasan mengenai nilai.
• Postulat ( dasar-dasar ) hukum sampai pada dasarnya;
• Postulat ( dasar-dasar ) hukum sampai pada dasarnya;
• Berusaha mencapai akar akar dari hukum.
• Berusaha mencapai akar akar dari hukum.
Menurut Mahadi

Filsafat Hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum sampai ke akar-akarnya secara mendalam.
Menurut Mahadi

Filsafat Hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum sampai ke akar-akarnya secara mendalam.
Menurut Satjipto Raharjo
Menurut Satjipto Raharjo
Filsafat Hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum;

Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut yang berbeda;
Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut yang berbeda;
Ilmu Hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu.
Ilmu Hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu.
Menurut Lili Rasjidi
Menurut Lili Rasjidi
Filsafat hukum berusaha membuat dunia ethis yang menjadi latar belakang yang tidak diraba oleh panca indera, sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normatif.

Filsafat hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “ethis” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat ( seperti Grundnorm yang telah dijabarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran Neo kantianisme ).
Filsafat hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “ethis” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat ( seperti Grundnorm yang telah dijabarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran Neo kantianisme ).
Menurut Gustav Radbruch :

Filsafat Hukum mengandung 3 aspek :
Filsafat Hukum mengandung 3 aspek :
1• Aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
1• Aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;


2. Aspek tujuan , finalitas yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan hukum yang hendak dicapai;
2. Aspek tujuan , finalitas yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan hukum yang hendak dicapai;


3. Aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
3. Aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala gejala hukum.

Dalam filsafat
pertanyaan pertanyaan yang paling dalam dibahas hubungannya dengan : makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.
Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala gejala hukum.

Dalam filsafat
pertanyaan pertanyaan yang paling dalam dibahas hubungannya dengan : makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.
Batasan Pengertian :

• Filsafat hukum adalah menganalisis asas hukum dari suatu peraturan,
• Filsafat hukum adalah menganalisis asas hukum dari suatu peraturan,
serta

menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan hukum, baik dalam bentuk yuridis normatif maupun empiris,

sehingga

tujuan hukum dapat tercapai, yaitu memperbaiki kehidupan manusia.

Hukum dapat menumbuhkan nilai kebaikan diantara manusia.

Telaah Filsafat Hukum

• Menurut Jan Gijssels & Mark van Hoeke Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :
• Menurut Jan Gijssels & Mark van Hoeke Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :
• Ontologi hukum : kajian tentang hakekat dari hukum ( hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral.
• Ontologi hukum : kajian tentang hakekat dari hukum ( hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral.
• Epistemologi hukum : ajaran pengetahuan hukum ( bentuk metafilsafat );
• Epistemologi hukum : ajaran pengetahuan hukum ( bentuk metafilsafat );
• Aksiologi hukum : kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum ( seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, hak dsb ).
• Aksiologi hukum : kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum ( seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, hak dsb ).
• Logika hukum.
• Logika hukum.
• Ideologi hukum :ajaran tentang ide.
• Ideologi hukum :ajaran tentang ide.
• Teleologi hukum : kajian tentang makna & tujuan hukum.
• Teleologi hukum : kajian tentang makna & tujuan hukum.
• Ajaran ilmu dari hukum: meta-teori dari ilmu hukum.
• Ajaran ilmu dari hukum: meta-teori dari ilmu hukum.
Ruang lingkup Filsafat Hukum

• Tujuan hukum merupakan obyek filosof hukum masa lalu.
• Tujuan hukum merupakan obyek filosof hukum masa lalu.
• Masa kini obyek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum yang mendasar dan memerlukan pemecahan / solusi, antara lain :
• Masa kini obyek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum yang mendasar dan memerlukan pemecahan / solusi, antara lain :
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan.
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
3. Apa sebab negara berhak menghukum orang.
3. Apa sebab negara berhak menghukum orang.
4. Apa sebab orang mentaati hukum.
4. Apa sebab orang mentaati hukum.
5. Pertanggungjwaban.
5. Pertanggungjwaban.
6. Hak
6. Hak
7. Kontrak.
7. Kontrak.
8. Peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
8. Peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
9. Hukum sebagai sosial kontrol dalam masyasyarakat.
9. Hukum sebagai sosial kontrol dalam masyasyarakat.
10. Sejarah hukum.
10. Sejarah hukum.
Fungsi Filsafat Hukum :
Fungsi Filsafat Hukum :
- Pada masa Yunani kuno, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia agar mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
- Pada masa Yunani kuno, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia agar mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
- Pada abad pertengahan , hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya semula, yaitu menciptakan aturan. Aturan hukum adalah aturan Tuhan ( Allah ) yang berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
- Pada abad pertengahan , hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya semula, yaitu menciptakan aturan. Aturan hukum adalah aturan Tuhan ( Allah ) yang berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
- Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, karena yang menentukan hukum adalah manusia sendiri, manusia menentukan aturan dalam kehidupannya. Dalam realitasnya manusia merupakan makhluk yang bebas.
- Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, karena yang menentukan hukum adalah manusia sendiri, manusia menentukan aturan dalam kehidupannya. Dalam realitasnya manusia merupakan makhluk yang bebas.
- Fungsi hukum adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi manusia.
- Fungsi hukum adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi manusia.
Manfaat mempelajari filsafat hukum
Manfaat mempelajari filsafat hukum
1• Dapat menjelaskan secara praktis peran hukum dalam pembangunan yang berfokus pada ajaran sociological jurisprudence dan legal realisme.
1• Dapat menjelaskan secara praktis peran hukum dalam pembangunan yang berfokus pada ajaran sociological jurisprudence dan legal realisme.
2 • Untuk pengembangan wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik dalam bentuk pendekatan yuridis normatif mapun empiris.
2 • Untuk pengembangan wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik dalam bentuk pendekatan yuridis normatif mapun empiris.
3. Untuk menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang pantas didiaminya

ALIRAN HUKUM ALAM


ALIRAN HUKUM ALAM

A. Aliran hukum alam :

1. Di zaman Yunani

Pada abad 5 SM orang Yunani masih primitif, hukum dipandang sebagai keharusan alamiah ( nomos ), baik alam semesta maupun manusia.

Socrates abad 4 SM mulai sadar bahwa bahwa peran manusia dalam membentuk hukum.

Socrates menuntut supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia.

Plato & Aristoteles mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka tetap taat pada tuntutan alam, sehingga dikenal dengan aliran “hukum alam.”

Menurut Plato ( 427 – 347 SM ) :
Dalam bukunya Politeia
melukiskan model negara yang adil. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil.
Dalam bukunya Nomio:
mengatakan petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang kepada kesempurnaan, yaitu peraturan yang berlaku supaya ditulis dalam suatu buku perundang-undangan, jika tidak penyelewengan hukum sulit dihindari.

Aristoteles ( 348 -322 SM ) :

Dalam bukunya Politics berpendapat
manusia menurut wujudnya merupakan makhluk polis ( zoon politicon ), oleh karenanya setiap warga polis harus ikut serta dalam kegiatan politik.

Setiap orang harus taat pada hukum polis, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Hukum harus dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
hukum alam atau kodrat yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam selalu berlaku dan tidak pernah berubah.
Hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia.

2. Di zaman Romawi

– Pada abad 8 SM, peraturan peraturan Romawi hanya berlaku di kota Roma, kemudian berangsur-angsur berlaku secara universal yang disebut ius gentium , yaitu hukum yang diterima oleh semua bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab.

– Selaras dengan perkembangan tersebut diciptakan suatu ilmu hukum seperti : Cicero, Gaius, Ulpianus dsb.

– Filsafat hukum yang menerangkan dan mendasari sistem hukum hanya bersifat idiil, yakni apa yang dianggap penting oleh para tokoh politik dan yuridis, bukan hukum yang telah ditentukan, melainkan yang dicita-citakan sebagai ius.

– Cicero ( 105 – 43 SM ) mengajarkan : konsep a true law (hukum yang benar) yang disesuaikan dengan right reason ( penalaran yang benar ), sesuai dengan alam.

– Hukum apapun harus bersumber dari true law tersebut.

- Gasius membedakan antara : ius civil dan ius gentium.
Ius civil :
adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu. Ius gentium:
adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.

Plato
Dalam bukunya “ Republic “
pemikirannya menganut pandangan bahwa negara seyogyanya dipimpin oleh cendekiawan, yang bebas dan tidak terikat hukum positif, tetapi terikat dengan keadilan.

Dalam bukunya “ The Law “
pemikirannya berubah, dan mengemukakan bahwa negara diperintah oleh orang bebas dan cendekia.
Negara harus menyelenggarakan keadilan berdasarkan kaidah kaidah hukum yang tertulis.
Hukum alam harus tunduk pada hukum positif dan otoritas negara.


Aristoteles murid Plato :

menyumbangkan pemikirannya terhadap teori hukum antara lain :

a. Formulasi tentang problem esensial dari keadilan.

b. Formulasi tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak dengan equity.

c. uraian tentang perbedaan keadilan hukum dan keadilan alamiah (seperti hukum positif dan hukum alam ).

Formulasi keadilan Aristoteles :

1. Keadilan distributif : keadilan yang memberikan setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian barang dan kehormatan disesuaikan dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan distributif menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama diperlakukan sama dihadapan hukum.

2. Keadilan komutatif : keadilan yang memberikan hak kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.
3. Keadilan remedial : yaitu menetapkan kreteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari, yaitu harus ada standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.

Sanksi pidana dikenakan pada seseorang untuk memulihkan kesalahan yang telah dilakukan.

Kerugian diberikan fungsinya untuk memulihkan kesalahan perdata.


Zeno ( 320 – 250 SM ) Pemikir aliran Stoa mengemukakan :

a. Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional.

b. Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan suatu natural life yang didasarkan pada resonable living.

c. Hukum alam dapat diidentikkan dengan moralitas tertinggi.

d. Basis hukum adalah Aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.

e. Penalaran manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan hukum yang didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.

ALIRAN HUKUM POSITIF


ALIRAN HUKUM POSITIF
1. Memandang perlu memisah secara tegas antara hukum dan moral (das sein dan das sollen).
2. Menurut Hans Kelsen merupakan teori tentang hukum yang senyatanya ( das sein ).
3. Tidak mempersoalkan hukum senyatanya ( das sein ) apakah hukum itu adil atau tidak adil.
4. Hukum adalah perintah penguasa ( law is command of the lawgivers ).
5. Hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam.
6. Aliran hukum positif mengidentikkan hukum dengan undang-undang.
7. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
8. Bagian aliran hukum positif dikenal dengan nama legisme.
Hukum Positif menurut L.A. Hart :
Anggapan bahwa :
1. undang-undang adalah perintah manusia.
2. tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada.
3. analisis ( atau studi tentang arti ) dari konsepsi tentang hukum :
a. layak dilanjutkan ;
b. harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab atau asal usul undang undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai arti moral, tuntutan sosial, serta fungsi-fungsinya.
4. sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup yang menghasilkan putusan hukum yang tepat dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ada lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan norma-norma moral.
5. penilaian-penilaian moral tidak dapat diartikan atau dipertahankan,seperti halnya dengan pertanyaan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk atau bukti (noncognitivisme dalam atika ).
Eksistensi Hukum Positif

- Menurut W. Fiedman : Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah asumsi filosofis yang paling fondamental dalam positivisme hukum.

- Menurut John Austin :
Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada dan oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.
- John Austin membedakan : antara hukum ciptaan Tuhan untuk manusia fungsinya sebagai wadah-wadah kepercayaan dan undang-undang yang diadakan oleh manusia.
- Hukum positif merupakan hukum yang diadakan oleh kekuatan politik.
- Hukum positif mempunyai ciri empat unsur : perintah ( command ), sanksi ( sanction ), kewajiban ( duty ) , dan kedaulatan (sovereignity ).
Pendapat John Austin
dikembangkan oleh Rudolf von Jhering dan George Jelliniek (Jerman ).
Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara.
Tiga tanda pokok ketentuan hukum:
1.norma untuk perilaku luar seseorang terhadap orang lain.
2.norma yang bergerak dari kekuasaan dari luar yang diketahui.
3. norma kekuatan mengikatnya dijamin oleh kekuasaan luar.
alat Teori hukum murni Hans Kelsen

Teori hukum murni merupakan pengembangan dari aliran positivisme yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang.

Hukum adalah suatu sollenskatagorie ( katagori keharusan ), bukan Seinskatagorie ( katagori faktual ).

Aliran ini dopelopori oleh tokoh agama ternama yaitu Hans Kelsen.

Teori hukum murni merupakan pemberontakan yang ditujukan kepada ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengetengahkan hukum sebagai pemerintahan dalam negara totaliter.
Ajaran hukum murni :
1. Tujuan teori hukum, seperti ilmu pengetahuan yaitu mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,mengubah isi dengan cara yang khusus.
6. Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang khas dari hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Filosofi ajaran Hans Kelsen :
Hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis.

Unsur etis :
konsep hukum yang tidak memberi tempat bagi berlakunya hukum alam. Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk.

Unsur sosiologis :
ajaran hukum tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ajaran hukum hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein / realitas sosial.

Unsur politis :
Unsur politis sangat sulit dipisahkan dari hukum, sebab pembuat undang-undang adalah lembaga politis anggotanya adalah partai politik.
Inti ajaran Hans Kelsen :
• Ajaran hukum murni ( pure theory of law ) : membersihkan hukum dari anasir non hukum.
• Ajaran tentang grundnorm : merupakan azas yang melahirkan peraturan hukum dari dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm tatanan hukum A berbeda dengan grundnorm pada tatanan hukum B.
• Ajaran Stufenbautheory : Peraturan hukum secara keseluruhan diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar.
Kedudukan norma dasar adalah tertinggi dan abstrak, makin kebawah makin konkret. Dalam proses tersebut, apa yang semula berupa suatu yang seharusnya berubah menjadi suatu yang dapat dilakukan.

Rabu, 21 Maret 2012

Aliran Sociological Jurisprudence


Aliran Sociological Jurisprudence
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005


      Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[1] Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
      Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
      Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
      Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).
      Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.


      [1] Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.

Aliran Utilitarianisme


  Aliran Utilitarianisme
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005


      Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
      Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
      Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,  jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

Selasa, 20 Maret 2012

LEGAL REALISM


LEGAL REALISM
Oleh. Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar

A.    Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan  ini merupakan problem yang sukar dipecahkan bagi pengikut positivism.[1]
Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan  (positive morality). Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957) dan seorang ahli ilmu sosial,  Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962),  melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif  didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang tertulis [2].
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik.  idealisme hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis  dan sebagian sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan hukum modern.[3] Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.[4]
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1.    Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran     dan kerja tentang hukum.
2.    Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4.  Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-     konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.[5]
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.[6]
 Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya,[7]  
Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn antara lain:
1.      Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2.      Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3.      Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4.      Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”
5.      Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap hukum.
6.      Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan.
7.      Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan tidak nyata.
8.      Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek tersebut[8]
        Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.[9]

B.          Gerakan Kelompok Realis dalam Hukum
Frank mengklasifikasikan kelompok realis ke dalam 2 kubu, pertama kubu "rule skeptic", yakni kelompok yang menganggap ketidakpastian hukum hanya ada di dalam undang-undang dan berusaha menemukan keseragaman dalam pola perilaku peradilan. Kubu kedua "fact-skeptic" yang beranggapan bahwa unpredictabilitas putusan pengadilan hanya ada dalam fakta-fakta yang sukar dipahami. Pengklasifikasian ke dalam 2 kelompok oleh Frank ini, mendapatkan respon dari Rumble yang menemukan ada satu kelompom lagi yakni "oppinion-skepticism" atau yang lebih dimenal dengan "judicial hunch". Kelompok ini meyakini bahwa penalaran hukum hanyalah sebuah pengambilan keputusan ex post facto, rasionalisasi belaka, dan dimaksudkan untuk membuat kuputusan hakim tampak masuk akal, legal, dan tak terelakkan. Untuk meperkuat thesisnya, Frank membuat statement yang efektif dengan mengatakan bahwa pendekatan text-book, yang memperlakukan hukum haya sebagai kumpulan norma yang abstrak, adalah salah arah, dan bahwa ketidakpastian hukum adakah sesuatu yang inhern, bukan kesalahan yang disengaja.
Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim. Realisme Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Scandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
C.              AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
 Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika, dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya sekedar dijadikan pertimbangan. 
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan dalam menafsirkan hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. “Formal Style” seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang , Formal Style tidak perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad 19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu tanggaapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga masyarakat dapat menerimanya.  
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence  apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun  hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law” menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes kehilangan banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan dengan hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing manipulasi lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :
1.    Penentuan kasus-kasus bermasalah :  kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan, dan sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat untuk memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang ada di masyarakat.
2.    Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.
3.    Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong untuk itu, termasuk konstitusi;
4.    Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5.    Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut masyarakat membentuk suatu institusi yang disebut law and government. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
D.            SCANDINAVIAN LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:
1)      Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.  
2)      Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim.       
3)      Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4)      Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan dalam masyarakat kuno”.  
5)      Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat disubtitusikan.
6)      Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
7)      Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
8)      Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.
1.      Perbedaan Realisme Amerika dan Skandinavia
 Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme, namun terdapat sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan Amerika. Lloyd D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
1.      Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
2.      Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hukum.
3.      Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.
2.      Pemikiran Tokoh Scandinavian Realism
Aliran Realisme Skandinavia digawangi oleh banyak tokoh, seperti Axel Hagerstrom yang dianggap sebagai Bapak dari aliran ini.  Hagerstrom bukanlah ahli hukum, melainkan ahli filsafat yang memfokuskan perhatian kepada hukum dan etika sebagai sumber yang subur bai metafisika. Dia berambisi untuk menjadikan hukum sebagai alat bantu untuk mereorganisasi masyarakat sebagaimana ilmu pengetahuan alam telah berhasil mentransformasikan kehidupan manusia. Untuk mencapainya, dia menganggap bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari mitos, teologi dan metafisika. Logika dan bahasa hukum menurutnya dipenuhi oleh konsep-konsep palsu. Oleh karena itu, untuk menghancurkan pengaruh metafisika transedental, maka jalan untuk memulainya paling tepat adalah melalui hukum.
Hak, kewajiban, kehendak negara, dan lain-lain merupakan permainan kata-kata belaka, namun tampaknya ilmu hukum tidak bisa melepaskan diri darinya. Kesalahan ini harus diperbaiki, dan teori obyektif tentang pengetahuan harus ditegakkan.  Filsafat hukum baginya adalah sebuah sosiologi hukum tanpa investigasi empirik, tapi dibangun di atas analisis konseptual, historis dan prikologis. Tulisan Hagerstrom kebanyakan merupakan kritik atas kesalahan cara berpikir hakim.
Di samping itu, terdapat beberapa tokoh lain, yakni Ross, Olivecrona, Julius Stone, Jhon Rawls, dan lain-lain. Makalah ini akan mencoba untuk lebih menyoroti secara lebih mendalam atas pemikiran Olivecrona, dan dilanjutkan ringkasan gagasan utama dari tokoh lainnya.
a.      Karl Olivecrona (1897 - 1980)
Olivecrona adalah seorang ahli hukum dan filsafat yang berkebangsan Swedia. Dia belajar hukum di Universitas Upsala (1915-1920) dan menjadi murid Hagerstrom. Selanjutnya dia menjadi professor di bidang prosedur hukum dan filsafat hukum di Universitas Lund. Tulisan-tulisan beliau banyak menekankan kepada arti penting psikologi dalam gagasan hukum.
Beberapa pemikiran penting Olivecrona antara lain:
1)      Hukum sebagai fakta
Dalam tulisan yang dipublikasikan pertama pada tahun 1939, terdapat beberapa pemikiran penting yang termuat di dalamnya, yakni:
a)      Binding force of law. Olivecrona meyakini bahwa hukum berasal dari kreasi manusia. Hukum dibuat melalui proses legislasi atau oleh orang biasa. Dengan kata lain, hukum dibuat melalui proses alami, yang menghasilkan dampak yang alami juga dalam bentuk tekanan kepada masyarakat. Aturan hukum dianggap sebagai tindakan hakim dalam memeriksa kasus-kasus terkait dengan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, para pembuat hukum sebenarnya mempengaruhi dan membentuk perilaku masyarakat.
Hukum merupakan kaitan antara sebab dan akibat, hukum berada di antara waktu dan tempat. Sehingga baginya hukum yang dianggap berada dalam proses alami dan efek alami, tidak dapat berada pula dalam di luar itu (sesuatu yang metafisik).
Aturan hukum adalah gagasan tentang aksi imaginatif dari hakim dalam situasi yang imaginatif. Hukum tidak berada di ruang hampa, namun selalu terkait dengan situasi dan aturan lainnya, dimana keterkaitan ini selalu dapat diteliti. Sebagai contoh, tuduhan terhadap pelaku pembunuhan harus dikaitkan dengan persyaratan umur dari tertuduh, pemahaman dia tentang tuduhan yang diarahkan kepadanya, 
Dalam kontruksi pemikian yang demikian, maka daya mengikat dari hukum muncul dari gagasan dalam alam pikiran manusia.
b)      Aturan hukum bukanlah perintah yang tepat/jelas. Ada 2 pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab oleh Olivecrane. Dari mana perintah hukum berasal ? dan bagaimana perintah hukum seharusnya mengambil bentuk dalam aturan hukum ?
Sebagaimana kaum relais lainnya Olivecrona meyakini bahwa perintah hukum tidak berasal dari luar manusia. Namun untuk menjelaskan hal ini, konotasi yang dibangun untuk menjelaskan karakteristik manusia yang mampu memberikan perintah hukum tidak mungkin diasosiasikan kepada manusia secara perseorangan, karena pemberi perintah hukum haruslah memenuhi kualifikasi super-human. Secara empirik, konotasi ini diarahkan kepada negara.
Namun, dalam kenyataannya, negara bukanlah manusia. Negara adalah sebuah organisasi pemerintahan yang menjalankan negara. Tidak mungkin negara –dengan sendirinya- mengeluarkan perintah. Oleh karena itu, Olivecrona mengatakan bahwa pemahaman yang tepat adalah bahwa perintah hukum muncul dari individu-individu di dalam organisasi negara.
Terkait dengan aturan hukum sebagai perintah, pada dasarnya perintah itu tidak sama dengan perintah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Perintah individual ini biasanya terwujud dalam kalimat yang jelas sesuai keinginan pemberi perintah, sehingga perintah individual ini menimbulkan implikasi berupa munculnya hubungan personal. Model ini tidak muncul dalam aturan normatif hukum. Perintah dalam aturan hukum muncul dalam dalam bentuk perintah imaginatif yang dipahami oleh alam pikiran manusia.
c)      Ordinary legislation. Olivecrona berusaha menjawab pertanyaan klasik tentang proses legislasi, bagaimana sebuah draft peraturan yang pada dasarnya hanya merupakan serangkaian kalimat fiktif, dapat menjadi aturan hukum dan memiliki dayat ikat ? Dia menjelaskan bahwa kekuatan dari peraturan muncul dari kesepakatan awal yang tertuang dalam konstitusi yang dipergunakan oleh negara-negara modern. Konstitusi disepakati sebagai pedoman dasar dalam pengaturan masyarakat, dan mengikat seluruh warga negara. Konstitusi menjelaskan prosedur pendelegasian kepada pihak tertentu untuk menjalankan legislasi. Kesepakatan inilah yang selanjutnya menjadi kerangka pemahaman dalam pemikiran warga negara yang menghasilkan kepatuhan atas produk dari proses legislasi.
d)     Penggunaan kekuatan dalam organisasi negara. Penggunaan kekuatan oleh organisasi negara dalam penerapan hukum merupakan sebuah kepastian, baik untuk hukum pidana maupun perdata. Dalam konteks hukum perdata, penggunaan kekuatan dimungkinkan jika terjadi pengingkaran terhadap putusan hukum. Menurut Olivecrona, upaya untuk menanggalkan penggunaan kekuatan negara atau menjadikan penggunaan kekuatan negara sebagai prioritas kedua dalam penegakan hukum adalah sesuatu yang naif dan tidak berguna. Meskipun demikian, Olivecrona juga mengatakan bahwa penggunaan kekuatan negara tidak harus selalu dikedepankan, kekuatan atau kekerasan dapat disimpan sebagai background, namun hal ini dapat berhasil jika kondisi masyarakat telah berada pada situasi kedewasaan hukum.
e)      Hukum mengandung aturan tentang kekuatan. Pandangan Olivecrona mengenai hal ini pada dasarnya memperjelas relasi antara hukum dengan penggunaan kekuatan negara. Pada intinya, dia ingin mengatakan bahwa kekuatan negara bukanlah penopang atau penjaga hukum. Namun, baginya, justru penggunaan kekuatan negara itu menjadi bagian yang inheren dalam aturan hukum. Bagaimana dalam koteks hukum perdata ? Memang dalam konteks hukum perdata yang ditekankan adalah penggunaan unsur etis untuk memunculkan kepatuhan. Namun, bagi Olivecrona faktor etis ini adalah merupakan bagian lain dari kekuatan negara. Dan dalam hal ini, masyarakat harus mengupayakan agar perilaku mereka sesuai dengan aturan hukum (dalam hukum perdata).
f)       Standard moral dan hukum. Bagi oleivecrona, asumsi bahwa moral menjadi landasaan hukum, atau sumber inspirasi hukum, adalah tidak tepat. Bahkan perdebatan tentang apakah ide keadilan itu menjadi landasan dan rujukan bagi hukum juga dianggap tidak penting. Baginya, justru yang penting untuk didiskusikan adalah apakah ide keadilan menjadi faktor utama dalam hukum, ataukah ide keadilan justru dibentuk oleh hukum. Dalam hal ini, Olivecrona meyakini bahwa hukum menjadi instrument pembentuk moralitas masyarakat, meskipun dalam hal tertentu, karena hukum tidak bisa memprediksikan perkembangan moral, maka dalam proses perubahan hukum, fakta tentang ide moral juga dapat menjadi inspirasi perubahan. Dia menggarisbawahi pentingan pengaruh moral dari hukum untuk mengoptimalkan efektifitasnya. Namun, dia juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengandalkan dampak moral yang terkandung dalam aturan hukum, karena dampak moral ini bersifat sangat individual. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan daya atau pengaruh moral dari hukum agar dapat meluas kepada masyarakat, maka dalam proses pembuatan hukum diperlukan upaya untuk memastikan bahwa aturan hukum yang dibuat harus reasonable bagi mayoritas masyarakat, ditunjang dengan penerapan sanksi secara konsisten dan imparsial. Dan penggunaan kekuatan negara harus dilakukan dalam konteks propaganda untuk menyiapkan kondisi psikologis masyarakat agar dapat menyerap dan melaksanakan perintah hukum.
2)      Bahasa Hukum dan Realitas
Hukum, keputusan pengadilan, maupun kontrak berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia, sehingga penggunaan bahasa hukum harus didasarkan kepada upaya pencapaian tujuan tersebut. Hal ini disebut Olivecrona sebagai directive language, sebagai kebalikan dari reporting language. oleh karena itu dia menyarankan agar dalam konteks hukum, dipergunakan directive language dan menghindari reporting language.
Dalam penggunaan bahasa hukum, dia juga menekankan pentingnya peltakan konteks yang tepat, karena dengannya, akan mampu menghasilkan efek psikologis yang kuat. Peletakan konteks ini termasuk juga penggunaan institusi atau orang yang tepat untuk melakukannya. Ibaratnya, pembuatan perintah oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk itu, tidak akan mampu menghasilkan efek psikologis yang mampu mendorong masyarakat untuk mengikutinya. Untuk mengilustrasikan pemikirannya ini, Olivecrona merujuk ilustrasi yang dibuat oleh Austin dalam penamaan kapal Queen Elizabeth. Di samping itu, dia juga membuat ilutrasi dalam bentuk pesta pernikahan. Terkait dengan ilustrasi ini, dia menjelaskan lebih jauh bahwa pesta pernikahan memiliki efek psikologis yang mengikat pasangan yang menikah, dan juga negara.

b.      Alf Ross (1899 - 1979)
Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
c.       H.L.A. HART (1907 - 1992)
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa, sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma itu (rule of adjudication).
Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah sepertiGroundnorm.
Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
d.      Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.
Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.
e.       John Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.
Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls, dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.
Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas hidup manusia.
Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.
Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua, perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.
                   I.            PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1.      Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu  merenungkan kembali penerapan sistem hukum serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah yang seharusnya.
2.      Kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam filsafat hukum selalu berjalan seiring dengan dialektika sejarah terutama menyangkut peran hukum dalam proses kehidupan kenegaraan. Perkembangan politik, dan relasi kekuasaan dengan masyarakat selalu menjadi latar belakang penting yang membayangi evolusi aliran filsafat hukum.
3.      Aliran Legal Realism muncul sebagai reaksi atas aliran hukum alam dan legal positivism. Konsepsi yang dibangun oleh aliran ini dipengaruhi sebagian oleh pandangan-pandangan dari aliran utilaterianism.
4.      Aliran legal realism dapat dibagi menjadi 2 bagian; pertama aliran legal realism Amerika, dan kedua, aliran legal realism Skandinavia.
5.      Aliran legal realism Amerika menitik beratkan pandangan bahwa :
A.    hukum tidak statis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan perkembangan jamannya dan dinamika masyarakat dan menempatkan hakim sebagi titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum sehingga hakim harus menggali hukum dan menemukan hukum.
B.     Aliran legal realism Amerika memandang bahwa hal penting yang berpengaruh dalam pembentukan hukum adalah logika, prasangka, dan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
C.     Aliran Legal realism Amerika adalah merupakan hasil pendekatan secara pragmatis, empiris dan menganggap hukum itu harus bersih dari nilai-nilai
6.      Aliran legal realism Scandinavia menitikberatkan pandangan bahwa:
A.    Hukum adalah fakta dan hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika. Hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum, bukan sesuatu yang muncul dari kekuatan di luar manusia. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.  
B.     Validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksudkan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat.
C.     Kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
D.    Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya.
7.      Meskipun sama berada dalam satu aliran, terdapat perbedaan antara realisme Amerika dan Skandinavia sebagai berikut:
A.    Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
B.     Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hukum.
C.     Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.




DAFTAR PUSTAKA
Bismar Siregar, 1989, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya.
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Leon Duguit, 1919, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002
Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990)
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985
Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999



[1]     Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002, cet I h. 205.
[2]     Azizy, A. Qadri, Op Cit, h. 206.
[3]     Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990) Cet ke 1 h. 187.
[4]     Ibid, h. 189
[5] Lihat,  Friedmann, W. OpCit, h.191-192.
[6] Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Cet I h. 33
[7] Azizy, A. Qadri, Op Cit. h. 207-208
[8]     Azizy, A. Qadri, Op Cit, h.209.
[9]     Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999, h. 123