Selasa, 27 Maret 2012

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM


PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

Triya Indra Rahmawan

Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada baiknya kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan fisafat itu sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak (1992 : 03). Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hokum Indonesia Wirjono Prodjodikoro (1992 : 9), adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang – orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu – satunya tujuan dari hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo (1975 : 21) berpendapat, bahwa hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai – nilai tertentu (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 13).
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai – nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.

Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli

Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.


Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.

Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hokum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.

Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.

E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:berlakunya hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.

Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.

L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika

Ruang Lingkup Objek Kajian Filsafat Hukum;

Objek Kajian Filsafat Hukum; Ruang Lingkup

Objek pengkajian filsafat hukum
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.

Manfaat Belajar Filsafat Hukum

Manfaat Belajar Filsafat Hukum
Urgensi dan relevansi filsafat hukum

Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.

Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM


ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM
http://patricia-seohyerim.blogspot.com/

Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini kitadihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbuktibahwa hukum berkembang dalam masyarakat, ³Ibi ius ibi societas´ dimana ada masyarakatdisitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a.Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhabformalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociologicalyurisprudence dan Aliran realism hukum.
b.Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukummurni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
c.Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagaiberikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociologicaljurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
1.Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan,
filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan Thomas Aquino.
a.Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram
b.Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teoridualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c.Thomas Aquino : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´. Membagi asas
hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i.Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir
dan bersifat mutlak.
ii.Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah
menurut tempat dan waktu
d.Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran
akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah diperlukan iman.Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum,Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas denganmenyatakan ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia) dan lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abadpertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaituberisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
a.Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
-Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada
di luar bidang hukum.
-Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad
pengaruhnya pada masyarakat.
-Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab
sejarah.
-Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagihukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagiberikut;y
-Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
-Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
-Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
-System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan
di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukummurni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkanhukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karenahukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia ³sollen´dan bukan dalam dunia ³sain´. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akalmanusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangandengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipeloporiFriedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaansumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positifsosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupunpengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a
tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumberhukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan ³movement´ dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
-Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mencerminkan nilai sosial budaya.
-Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung
sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakanpendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN


PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN


oleh : Imran Nating, SH.

I. Mazhab Hukum Alam

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam bermunculan dari masa ke masa.

Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati.

Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi.

Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius;

Aristoteles;
Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positip.

Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.

Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum (hukum alam) juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum privat.

Thomas aquinas;
Dalam membahas hukum Thomas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau akal budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’(ius naturale), hukum bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).

Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam yang menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang

Hugo grotius;

Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.

Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah;

hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan.
hak untuk berkuasa atas orang lain

hak untuk berkuasa sebagai majikan

hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.


Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni:

prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga

prinsip kesetiaan pada janji

prinsip ganti rugi

prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.

Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.

II. Mazhab Formalistis
Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.
Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
John Austin;
Austin mendefenisikan hukum sebagai;


“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:
1. Perintah

2. Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)

3. Kewajiban

4. Kedaulatan.
Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui hukum Alam atau moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu tidak penting bagi hukum.

Hans Kelsen;
Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang hukum (pure Thory of law).

Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum harus di patuhi.
Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.
Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika. Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen adalah masalah ilmu politik.

III. MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH

Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine


Friedrich Carl Von Savigny;

Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.

Sir Henry Maine;
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.

Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.


IV. MAZHAP UTILITARIANISM

Pada mazhap ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.

Jeremy Bentham;
Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.

Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.
Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von Jhering;

Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.

Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.

Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

V. MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound
Eugen Ehrlich;
Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912).

Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.

Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Roscoe Pound;
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.

Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

VI. MAZHAB REALISME HUKUM

Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.

Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.

Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.


Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.

sumber http://www.solusihukum.com/artikel/artikel18.php

MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM

MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM

FILSAFAT HUKUM
Pengertian

• Filsafat : berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein artinya cinta. Sophia artinya kebijaksanaan.
• Filsafat : berasal dari bahasa Yunani yaitu : Philosophia. Philo atau philein artinya cinta. Sophia artinya kebijaksanaan.
• Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
• Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya.
Obyek Filsafat
Obyek Filsafat
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
Obyek Filsafat
Obyek Filsafat
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
• Materi : maksudnya adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
Filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan Sang Pencipta.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
2. Forma : maksudnya realita atau kenyataan.
Unsur Filsafat
Unsur Filsafat
• Unsur internal : meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi.
• Unsur internal : meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi.
2. Unsur eksternal : meliputi ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan ideologi.
2. Unsur eksternal : meliputi ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan ideologi.
PENGERTIAN

• E. Utrecht :
• E. Utrecht :
• Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch waardeoordeel.
• Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch waardeoordeel.
• Ilmu hukum sebagai ilmu empiris, hanya melihat hukum sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka
• Ilmu hukum sebagai ilmu empiris, hanya melihat hukum sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka
Menurut Mr. Soetika
Menurut Mr. Soetika
Filsafat hukum adalah :

• mencari hakikat dari hukum;
• mencari hakikat dari hukum;
• mengetahui apa yang ada dibelakang hukum;
• mengetahui apa yang ada dibelakang hukum;
• menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
• menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
• memberikan pertimbang an dan nilai ; penjelasan mengenai nilai.
• memberikan pertimbang an dan nilai ; penjelasan mengenai nilai.
• Postulat ( dasar-dasar ) hukum sampai pada dasarnya;
• Postulat ( dasar-dasar ) hukum sampai pada dasarnya;
• Berusaha mencapai akar akar dari hukum.
• Berusaha mencapai akar akar dari hukum.
Menurut Mahadi

Filsafat Hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum sampai ke akar-akarnya secara mendalam.
Menurut Mahadi

Filsafat Hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum sampai ke akar-akarnya secara mendalam.
Menurut Satjipto Raharjo
Menurut Satjipto Raharjo
Filsafat Hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum;

Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut yang berbeda;
Filsafat hukum menggarap bahan hukum dari sudut yang berbeda;
Ilmu Hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu.
Ilmu Hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu.
Menurut Lili Rasjidi
Menurut Lili Rasjidi
Filsafat hukum berusaha membuat dunia ethis yang menjadi latar belakang yang tidak diraba oleh panca indera, sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normatif.

Filsafat hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “ethis” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat ( seperti Grundnorm yang telah dijabarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran Neo kantianisme ).
Filsafat hukum berusaha mencari cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “ethis” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat ( seperti Grundnorm yang telah dijabarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran Neo kantianisme ).
Menurut Gustav Radbruch :

Filsafat Hukum mengandung 3 aspek :
Filsafat Hukum mengandung 3 aspek :
1• Aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
1• Aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;


2. Aspek tujuan , finalitas yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan hukum yang hendak dicapai;
2. Aspek tujuan , finalitas yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan hukum yang hendak dicapai;


3. Aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
3. Aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala gejala hukum.

Dalam filsafat
pertanyaan pertanyaan yang paling dalam dibahas hubungannya dengan : makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.
Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala gejala hukum.

Dalam filsafat
pertanyaan pertanyaan yang paling dalam dibahas hubungannya dengan : makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.
Batasan Pengertian :

• Filsafat hukum adalah menganalisis asas hukum dari suatu peraturan,
• Filsafat hukum adalah menganalisis asas hukum dari suatu peraturan,
serta

menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan hukum, baik dalam bentuk yuridis normatif maupun empiris,

sehingga

tujuan hukum dapat tercapai, yaitu memperbaiki kehidupan manusia.

Hukum dapat menumbuhkan nilai kebaikan diantara manusia.

Telaah Filsafat Hukum

• Menurut Jan Gijssels & Mark van Hoeke Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :
• Menurut Jan Gijssels & Mark van Hoeke Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :
• Ontologi hukum : kajian tentang hakekat dari hukum ( hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral.
• Ontologi hukum : kajian tentang hakekat dari hukum ( hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral.
• Epistemologi hukum : ajaran pengetahuan hukum ( bentuk metafilsafat );
• Epistemologi hukum : ajaran pengetahuan hukum ( bentuk metafilsafat );
• Aksiologi hukum : kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum ( seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, hak dsb ).
• Aksiologi hukum : kajian penentuan isi dan nilai dalam hukum ( seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, hak dsb ).
• Logika hukum.
• Logika hukum.
• Ideologi hukum :ajaran tentang ide.
• Ideologi hukum :ajaran tentang ide.
• Teleologi hukum : kajian tentang makna & tujuan hukum.
• Teleologi hukum : kajian tentang makna & tujuan hukum.
• Ajaran ilmu dari hukum: meta-teori dari ilmu hukum.
• Ajaran ilmu dari hukum: meta-teori dari ilmu hukum.
Ruang lingkup Filsafat Hukum

• Tujuan hukum merupakan obyek filosof hukum masa lalu.
• Tujuan hukum merupakan obyek filosof hukum masa lalu.
• Masa kini obyek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum yang mendasar dan memerlukan pemecahan / solusi, antara lain :
• Masa kini obyek filsafat hukum berkembang meliputi masalah hukum yang mendasar dan memerlukan pemecahan / solusi, antara lain :
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan.
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya.
3. Apa sebab negara berhak menghukum orang.
3. Apa sebab negara berhak menghukum orang.
4. Apa sebab orang mentaati hukum.
4. Apa sebab orang mentaati hukum.
5. Pertanggungjwaban.
5. Pertanggungjwaban.
6. Hak
6. Hak
7. Kontrak.
7. Kontrak.
8. Peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
8. Peran hukum sebagai pembaharuan masyarakat.
9. Hukum sebagai sosial kontrol dalam masyasyarakat.
9. Hukum sebagai sosial kontrol dalam masyasyarakat.
10. Sejarah hukum.
10. Sejarah hukum.
Fungsi Filsafat Hukum :
Fungsi Filsafat Hukum :
- Pada masa Yunani kuno, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia agar mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
- Pada masa Yunani kuno, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia agar mengikuti peraturan sesuai dengan hakekatnya.
- Pada abad pertengahan , hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya semula, yaitu menciptakan aturan. Aturan hukum adalah aturan Tuhan ( Allah ) yang berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
- Pada abad pertengahan , hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya semula, yaitu menciptakan aturan. Aturan hukum adalah aturan Tuhan ( Allah ) yang berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
- Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, karena yang menentukan hukum adalah manusia sendiri, manusia menentukan aturan dalam kehidupannya. Dalam realitasnya manusia merupakan makhluk yang bebas.
- Pada zaman modern, hukum dipandang sebagai ciptaan manusia, karena yang menentukan hukum adalah manusia sendiri, manusia menentukan aturan dalam kehidupannya. Dalam realitasnya manusia merupakan makhluk yang bebas.
- Fungsi hukum adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi manusia.
- Fungsi hukum adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi manusia.
Manfaat mempelajari filsafat hukum
Manfaat mempelajari filsafat hukum
1• Dapat menjelaskan secara praktis peran hukum dalam pembangunan yang berfokus pada ajaran sociological jurisprudence dan legal realisme.
1• Dapat menjelaskan secara praktis peran hukum dalam pembangunan yang berfokus pada ajaran sociological jurisprudence dan legal realisme.
2 • Untuk pengembangan wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik dalam bentuk pendekatan yuridis normatif mapun empiris.
2 • Untuk pengembangan wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik dalam bentuk pendekatan yuridis normatif mapun empiris.
3. Untuk menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang pantas didiaminya