Madzhab Sejarah
Nasri, SH., MH
A. Awal Lahirnya Mazhab Sejarah
Abad kesembilan belas merupakan
masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan intelaktual dimana manusia
mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan dalam semua lapangan
kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara pandang dalam
melihat eksistensi manusia[7]. Pada masa ini manusia dipandang sebagai wujud
dinamis yang senantiasa berkembang dalam lintasan sejarah[8].
Dibidang hukum, abad kesembilan
belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai macam aliran atau mazhab
hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini. Aliran atau mazhab hukum
yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat diklasifikasi menjadi tiga
aliran yaitu[9] : mazhab positivisme[10], mazhab utilitarianisme[11] dan mazhab
historis atau sejarah.
Dalam rentang sejarah,
perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran
hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka
teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan
kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata
lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban
fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya[12]. Sebagai contoh dapat
dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam
atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan
kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme[13].
Kelahiran mazhab sejarah
dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861)[14] melalui tulisannya
yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft
(Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu
Hukum)[15], di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam
bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul
pada awal abad ke 19. Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi
langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata
Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh
tersebut bisa digambarkan sebagai berikut[16]:
Menurut Friedmann Aliran ini juga
memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang berkuasa pada
zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah[17] :
1) Rasionalisme dari abad 18
dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip
pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan
cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan
kondisi sosial;
2) Kepercayaan dan semangat
revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada
akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan
kelahiran alairan/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak lansung dari terhadap
aliran hukum alam dan aliran hukum positif[18].
Hal pertama yang mempengaruhi
lahirnya mazhab sejarah adalah pemikran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des
Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa
dengan hukumnya[19].
Menurut W. Friedman gagasan yang
benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun
secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh
lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan,
perdagangan dan lain sebagainya[20]. Berangkat dari ide tersebut Montesqueu
kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan
pemerintahan[21].
Seperti yang telah diuraikan
diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah
juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul
pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny
menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang
tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen
Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum
perdata negara Jerman)[22].
Dalam suasana demikian, Savigny
mendapatkan “Lahan subur” untuk membumikan ajarannya yang mengatakan bahwa
‘hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karenanya setiap
bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara
tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas
penjajahnya. Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak
masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum
yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang
menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke
masa (sejarah)[23].
B. Inti Ajaran Mazhab Historis
Inti ajaran Madzab Sejarah yang
didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya ‘von Beruf Ungerer Zeit fur
Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk
Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan[24]:
‘Das Recht wird nicht gemacht.
est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat. tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat)
Ajaran Savigny tersebut
dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang mengatakan bahwa didunia ini
terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai Volkgeist /jiwa rakyat.
Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang
disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber
pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari
masa ke masa.
Hukum menurut pendapat Savigny
berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak
dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks
dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli
hukumnya[25].
Pokok-pokok ajaran madzab
historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan
sebagai berikut [26]:
1. Hukum ditemukan tidak
dibuat[27]. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari
dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting
dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari
hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum
yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih
lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli
hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum
tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk
memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum
ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum).
Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai
pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat
berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan
kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang
khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat
diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat
dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist
melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab
sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya
yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan
dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan
modern[29]. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat
dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu
kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan.
Dengan demikian, Maine sebenarnya
tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep
yang diselibungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang mengatakan
bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu terlihat adanya
perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak[30]
Selanjutnya Maine mengatakan
tentang adanya masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang statis
adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum sendiri melalui melalui 3
cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan[31]. Pandangan terakhir
inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan Maine dengan
Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan peranan perundangan dan
kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju[32] .
C. Pengaruh Aliran Historis Dalam
Konteks Indonesia
Banyak teori yang dimunculkan
oleh ahli hukum untuk mencoba menemukan dan menggagas ide tentang pengembanan
hukum termasuk didalamnya pembentukan atau pembaharuan hukum. Masing-masing
teori berupaya mengajukan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan
keunggulan dari teori yang telah mereka bangun. Biasanya suatu teori lahir
sebagai akibat atau reaksi terhadap teori yang mendahuluinya. Reaksi tersebut
bisa berupa penolakan dan bisa juga justru memberikan dasar pijakan yang lebih
kuat terhadap teori sebelumnya[33].
Kelebihan pemikiran hukum dari
madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan
derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat
diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis.
Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya,
satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu
bangsa[34]. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan
hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis[35]. Sikap semacam ini
dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Di Indonesia pengaruh ajaran
madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru
yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar
serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi,
saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem
sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki
daya berlaku sosiologis.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan
bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah
memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (” preservation”) hukum
adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi
dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau
tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian
kecil golongan pribumi[36].
Dalam konteks kekinian, lahirnya
gerakan pemikiran hukum yang mengarah pada pengoptimalisasian fungsi lembaga
mediasi yang ada dilevel masyarakat grass root secara tidak langsung dapat
dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung mazhab sejarah bagi pemikiran hukum
di Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat gerakan ini mulai diawali di desa Lebah
Sempaga dan Desa Bagu yang telah membuat Balai Mediasi Desa yang sudah mengarah
kepada penggalian budaya dan kebiasaan masyarakat.
Akan tetapi pemikiran hukum
madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni[37]:
1. tidak diberikannya tempat bagi
ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);
2. konsepsinya tentang kesadaran
hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak
memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai
hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Masing-masing kelemahan tersebut
akan diuraiakan sebagai berikut
1. Tidak diberikannya tempat bagi
ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);
Hukum dalam konsepsi mazhab
sejarah adalah kebiasaan tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat sebagai
pengejawantahan nilai yang ada pada komunitas mereka. Dengan demikian,
satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat.
Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat
masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis[38].
Bagi masyarakat modern dengan
kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin pengaturan tertib sosial
dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika masyarakat
modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan aturan tidak tertulis dalam
mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata pergaulannya pada masyarakat,
maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu ketidakpastian hukum. 0leh karena,
sebagaimana pandangan madzab ini, proses konkretisasi kesadaran umum kesadaran
hukum sebagai pedoman dalam melakukan tindakan hukum membutuhkan ahli hukum
yang setia sebagai abdi kesadaran umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah
kemudian memformulasikan kesadaran umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi
aturan-aturan tidak tertulis itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli
hukum dianggap terjemahan dari jiwa masyarakat[39].
2. Konsepsinya tentang kesadaran
hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak
memuaskan banyak pihak;
Menurut pandangan madzab sejarah
kesadaran hukum masyarakat bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi
berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik,
dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu
tidak sama (namun, bukan karena mengalami perubahan). Konsekuensinya. tidak ada
ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif yang dapat diterima setiap orang
secara ilmiah[40].
Selanjutnya ajaran savigny
mengenai fungsi dan perkembangan hukum terkait dengan konsep jiwa masyarakat
dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang
lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai
sumber utama hukum menurut madzab ini[41].
3. Inkonsistensi sikap mengenai
hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Savigny menyebutkan bahwa hukum
yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya
yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum
Romawi merupakan hukum terbaik[42] Studi Savigny yang mendalam atas Hukum
Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi merupakan
contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi
bertahap bagi zaman-zaman sebelum “corpus yuris” membentuk kodefikasi yang
final[43]
Ada dua hal yang tersirat dari
uraian di atas, yakni[44]:
a. ketidakjelasan makna dan
fungsi jiwa rakyat;
b. kodefikasi merupakan “tindakan
final” dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang berarti akhirnya, sikap
anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah diperluwes.
III. Penutup
A. Kesimpulan
1) Ada dua faktor utama lahirnya
mazhab sejarah yaitu ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan
pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Di sisi
lain lahirnya mazhab ini juga memberikan aksi terhadap dua hal yang pada awal
kemunculannya merupakan moment strategis bagi perkembangan mazhab ini
selanjutnya yaitu 1) Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap
hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya
dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa
memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2)Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap
tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas
keadaan-keadaan zamannya.
2) Di Indonesia pengaruh ajaran
madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru
yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar
serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi,
saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem
sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki
daya berlaku sosiologis. bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini
terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (”
preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan
(asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi)
yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya
samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.
Daftar Pustaka
Salman, Otje & Antoni F.
Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan Kembali, (Bandung,
Refika Aditama, 2007)
Khairurrofiq, M. Refleksi dan
relevansi Mazhab-mazhab Hukum Dalam Pngembangan Ilmu hukum
http://dialektikakeriting.blogspot.com/2008/01/relevansi-madzhab-hukum-bagi.html
Friedmann, W. Legal Theory, alih
bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan
Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990)
Dimyati, Khudzaifah. Dinamika
Pemikiran Hukum : Orientasi dan Karateristik Pemikiran expertise Hukum
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005. hlm. 136
Rasjidi, Lili. Dasar-dasar
Filsafat Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996),
____________ Dasar-dasar Filsafat
dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2007),
____________ Filsafat Hukum
Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996)
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982),
Zulkarnain, Kritik Terhadap
Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003
Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu
Hukum, Makalah disampaikan pada acara seminar tentang Posmodernisme dan
Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan” dan peluncuran buku memperingati 70 Tahun
Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI di Kampus Universitas Tarumanagara, 17
Februari 2005.
Simarmata, Rikardo. Socio-legal
Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society & Development, Volume I
Desember 2006-Maret 2007
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991)
Rengka, Frans. Reformasi Hukum
dan Reformasi Pendidikan Hukum, dalam
http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, Cet. II (Yogyakarta, Liberty,1986),
* Makalah ini merupakan tugas
kelompok dalam mata kuliah Teori Hukum pada program Magister Ilmu Hukum
Universitas Mataram, yang diasuh oleh Dr. Anag Husni, makalah dipresentasikan
pada tanggal 31 Maret 2008
[1] Otje Salman dan Antoni F.
Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan Kembali, (Bandung,
Refika Aditama, 2007), hlm. 45
[2] M.Khairurrofiq,Refleksi dan
relevansi Mazhab-mazhab Hukum Dalam Pngembangan Ilmu hukum
http://dialektikakeriting.blogspot.com/2008/01/relevansi-madzhab-hukum-bagi.html
[3] Ada adugium menarik yang
biasa digunakan oleh ahli hukum untuk menjustifakisi perbedaan pendapat yang
sering terjadi diantara mereka. Adagium itu berbunyi “Bila sepuluh orang pakar
hukum berkumpul dan membicarakan batasan pengertian mengenai hukum, maka akan
keluar sebelas batasan pengertian”
[4] H. L. Syafruddin, , hasil
diskusi pada kuliah Sejarah dan Politik Hukum Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Mataram 2008
[5] W. Friedmann, Legal Teori,
alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan
Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990), hlm. 60
[6] Khudzaifah Dimyati, Dinamika
Pemikiran Hukum : Orientasi dan Karateristik Pemikiran expertise Hukum
Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005. hlm. 136
[7] Sebelum abad kesembilan
belas, pada masa jayanya aliran hukum alam manusia dianggap tidak bisa membuat
perubahan terhadap kondisi sosialnya terutama dibidang hukum. Menurut Fransisco
Suarez Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu,
manusia berdasarkan risionya hanya menjalankan apa yang sudah ditentukan oleh
Tuhan dan dengan demikian manusia tidak bisa merubah apa yang sudah menjadi
kehendak Tuhan. Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1996), hlm. 52
[8] Theo Huijbers, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982), hlm. 103
[9] Zulkarnain, Kritik Terhadap
Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003, hlm. 1
[10] Aliran ini mengidentikkan
hukum dengan undang-undang.satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di
Jerman aliran ini dipertahankan oleh tokoh-tokoh seperti Paul Laband, Jellinek,
Rudolf Von Jehring, Hans Nawiasky, dan Hans Kelsen. Sedangkan di Inggris aliran
ini didukung oleh John Austin dengan analytical Jurisprudencenya. Menurut
Austin hukum adalah merupakan perintah dari penguasa (law is a command of the
lawgiver)
[11] Tokoh utama aliran
utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Von Jhering.
Aliran ini, terutama Bentham mendasarkan filsafatnya pada asas kemanfaatan.
Menurutnya setiap tindakan manusia pada hakekatnya bertujuan untuk mendatangkan
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Berangkat dari cara berpikir seperti
ini maka ukuran baik buruknya suatu perbuatan tergantung dari seberapa besar
kebahagiaan yang didatangkan oleh perbuatan tadi. Demikian juga dengan hukum,
perundang-undangan yang baik harus mampu menjamin terpenuhinya kebahagian.
[12] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 1
[13] Otje Salman Op.Cit. hlm 2.
bandingkan dengan Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu Hukum, Makalah disampaikan
pada acara seminar tentang Posmodernisme dan Dampaknya terhadap Ilmu
Pengetahuan” dan peluncuran buku memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Ir. Dali
Santun Naga, MMSI di Kampus Universitas Tarumanagara, 17 Februari 2005. hlm. 3
[14] Salah seorang ahli sosiologi
hukum Ehrlich berkebangsaan Austria yang juga merupakan murid dari Savigny
digolongkan sebagai salah satu tokoh mazhab sociological jurisprudence, di
anggap memiliki pandangan yang sama dengan Savigny dikarenakan telah
memperkenalkan konsep living law, namun demikian tidak ada ahli hukum yang
berani menyimpulkan bahwa pemikiran Ehrlich memang dipengaruhi oleh gagasan
Savigny. Sama seperti Savigny, Ehrlich tidak melihat hukum sebagai suatu aturan
yang berada di luar anggota-anggota masyarakat, melainkan diwujudkan dan
diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum lahir dari rahim kesadaran
masyarakat akan kebutuhannya (opinio necessitates). Lihat Rikardo Simarmata
Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society &
Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
[15] Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 277. bandingkan dengan Teo
Huijbers, Op.Cit., hlm 118
[16] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 2
[17] W. Friedmann, Op.Cit., hlm.
60
[18] Lili Rasjidi, Dasar-dasar
Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 64-65.
[19] Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm.
64. Lihat juga Frans Rengka, Reformasi Hukum dan Reformasi Pendidikan Hukum,
dalam http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm
[20] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 2
[21] Gagasan Montesquieu tentang
sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam
kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai
perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal
itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat
yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque melihat adanya dua kekuatan yang
bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong
manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai
anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban disamping
adanya hak-hak. W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 64
[22] Zulkarnaen, Op.Cit, hlm. 3
[23] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 3
[24] Lili Rasjidi, Dasar-dasar
Filsafat Hukum, cet. VII (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) hlm. 69. Lihat
juga Lili Rasjidi, Teori dan Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 65
[25] Ibid, hlm 65
[26] W. Friedmann, Op.Cit., hlm.
61
[27] Implikasi dari ajaran Savigni
ini adalah penolakannya terhadap pengagungan akal seseorang. Cara pandang ini
yang membedakan kaum realis dengan aliran historis. Kaum realis lebih
mengedepankan prediksi waktu yang akan datang sedangkan aliran historis
dianggap telah melakukan kesalahan karena terlalu mengagung-agungkan masa
lampau. Ketidak percayaan terhadap pembuatan undang-undang terutama yang
terkodifikasi menunjukkan adanya pandangan yang skeptis terhadap kemauan
manusia dan meragukan keberhasilan manusia untuk menguasai dunianya. Satjipto
Rahardjo, Op.Cit., hlm. 279
[28] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 5
[29] W. Friedmann, Op.Cit., hlm.
67. salah satu aspek penting dari kehidupan modern adalah munculnya disiplin
sosial baru yang dalam abad 19 secara umum menggeser semangat individualisme.
Penyebabnya bermacam-macam dan penguraiannya lebih merupakan masalah sosial
daripada masalah hukum
[30] Satjipto Rahardjo, Op.Cit.,
hlm. 280
[31] Ibid
[32] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 5
[33] Perlu diingat bahwa
munculnya teori baru, tidak serta merta akan menghilangkan pengaruh teori yang
ada sebelumnya. Fenomena ini dijelaskan oleh Lakatos sebagai kerumitan
asumsi-asumsi yang membentuk bagian lain dari struktur teori. Dalam program
riset Lakatosian ada semacam sabuk pengaman yang melindungi inti pemikiran dari
sebuah teori, itu sebabnya satu teori (hasil pemikiran) tidak akan musnah dan
hilang begitu saja ketika teori lain muncul. Kemunculan satu teori disusul
teori lainnya merupakan keragaman (kekayaan) dalam sebuah program riset. Otje
Salman, Op.Cit., hlm. 3
[34] Sudikno Mertokusumo,
Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. II (Yogyakarta, Liberty,1986), hlm. 100
[35] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum
Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 71
[36] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 7
[37] Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm.
49
[38] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 7
[39] Ibid
[40] Ibid
[41] W. Friedmann, Op.Cit., hlm.
59
[42] Lili Rasjidi, Op.Cit, hlm.
42
[43] W.Friedman, Op.Cit., hlm 62
[44] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 8
Sumber: hukum.ummat.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar