LEGAL REALISM
Oleh. Ahsanul
Minan
dan Indah
Sari Septiani Putri Adi Muchtar
A.
Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan
bahwa aliran realisme muncul bermula dari adanya penolakan terhadap aliran positivisme.
Gagasan yang dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum
merupakan teori hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum,
termasuk menangani kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat
ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah
legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan,
khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan ini merupakan problem yang sukar dipecahkan
bagi pengikut positivism.[1]
Sebagaimana diuraikan
dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah
perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum
adalah kehendak dari negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum
adalah sesuatu yang positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum
kebiasaan (positive morality). Tetapi
positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi
Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini,
tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni
Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957) dan seorang ahli ilmu
sosial, Karl Nickerson Llewellyn
(1893-1962), melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang
ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang.
Sehingga pada kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk
memilih dan menentukan serta lebih kreatif
didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam
aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya
ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan
nilai-nilai yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan
hukum dari pada aturan-aturan yang tertulis [2].
Sehubungan dengan hal
ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad kesembilan belas terjadi
sikap skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para penganut ilmu
hukum analitik. idealisme hukum baru yang
terdiri dari sebagian metafisis dan
sebagian sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan
berbalik mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya
dengan hukum modern.[3]
Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang
mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang
yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.[4]
Gerakan realis mulai
melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua
sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang
di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan
mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan)
sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok
dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang
hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang
terpeting diantaranya:
1.
Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang
hukum.
2.
Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah
dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan
dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah
lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme
menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya
ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu
diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan,
gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan
atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme tidak
percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi- konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan
konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan
umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme
menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.[5]
Llewellyn sebagai salah
satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam
kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan
perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan
yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang
ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata
lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga
tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan
eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.[6]
Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang
tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih
besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada
kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika
menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal
tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan
lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum
yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan
untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum
tertulis yang mengaturnya,[7]
Pokok-pokok pendekatan
kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn antara lain:
1.
Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum
yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2.
Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3.
Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum,
karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu
menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4.
Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara
“is” dan “ought”
5.
Tidak mempunyai anggapan bahwa
peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus
dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam
pendekatan terhadap hukum.
6.
Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga
menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan
faktor utama dalam mengambil keputusan.
7.
Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang
lebih sempit sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi
situasi-situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum,
tidak konkret dan tidak nyata.
8.
Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya
dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek tersebut[8]
Akhirnya secara ringkas, Llewellyn
sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme
bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang
lain”.[9]
B.
Gerakan Kelompok Realis dalam Hukum
Frank
mengklasifikasikan kelompok realis ke dalam 2 kubu, pertama kubu "rule skeptic", yakni
kelompok yang menganggap ketidakpastian hukum hanya ada di dalam undang-undang
dan berusaha menemukan keseragaman dalam pola perilaku peradilan. Kubu kedua "fact-skeptic" yang
beranggapan bahwa unpredictabilitas putusan pengadilan hanya ada dalam fakta-fakta
yang sukar dipahami. Pengklasifikasian ke dalam 2 kelompok oleh Frank ini,
mendapatkan respon dari Rumble yang menemukan ada satu kelompom lagi yakni "oppinion-skepticism" atau
yang lebih dimenal dengan "judicial
hunch". Kelompok ini meyakini bahwa penalaran hukum hanyalah sebuah
pengambilan keputusan ex post facto, rasionalisasi belaka, dan dimaksudkan
untuk membuat kuputusan hakim tampak masuk akal, legal, dan tak terelakkan.
Untuk meperkuat thesisnya, Frank membuat statement yang efektif dengan
mengatakan bahwa pendekatan text-book, yang memperlakukan hukum haya sebagai
kumpulan norma yang abstrak, adalah salah arah, dan bahwa ketidakpastian hukum
adakah sesuatu yang inhern, bukan kesalahan yang disengaja.
Aliran Legal Realisme sebagai
suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan
Realisme Skandinavia. Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya
bukan hal yang lazim. Realisme
Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme
skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris hukum (khususnya hakim), akan
tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Scandinavia ini
banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
C.
AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah merupakan
pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial.
Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan
meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih
sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan
perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir
aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini
merupakan reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai
segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini
berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme
Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu
pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari
nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu
institusi hukum harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum
dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh
realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud
dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi,
pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini
yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di
Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana
dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan hukum
dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di Amerika
ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi
dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang
tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika, dengan prinsip
tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya “Law and The
Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam
memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim
itu hanya menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara
berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda
pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi
faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya
sekedar dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh
yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law
Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi
hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan
dalam menafsirkan hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan
dalam bukunya tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat
diprektekan di pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada
saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu
keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada
tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali
yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. “Formal Style”
seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika, hakim dalam
membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika namun hanya
sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang , Formal Style tidak
perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal
Style ini sangat mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad
19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk
Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang mengharapkan
pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim dalam memutuskan
perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Namun
sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu tanggaapan bahwa dengan
hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan logika dan mempertimbangkan
kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan keputusan menimbulkan keanekaragaman
putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik
itu seperti apa sehingga masyarakat dapat menerimanya.
Menurut K. Llewellyn
dalam bukunya Using The New Jurisprudence
apa yang telah dikatakan mungkin
dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini
tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus
sepenuhnya bebas membagi pada
analisis dan pemeriksaan lebih
dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan
pejabat, fakta lain yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran
dan meletakkan pada mereka tugas untuk
latihan mereka ujung
keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat
dan keduanya harus diperhitungkan
oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan
pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua
yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak
berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita bahwa
mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam
alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan
menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak
menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi kita dan
lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas
untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita
memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus
menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana dan hanya
fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam
atau sama berharga atau doktrin. Namun
hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim
kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil
pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law”
menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes kehilangan
banyak makna dan jika fase hukum yang
secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan dengan
hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap
penting adalah lembaga yang berkembang, dan lembaga yang diperlukan
dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja
tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu
bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu
bagian tubuh yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir
(cukup longgar) di sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan
prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik
dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk
membimbing manipulasi lembaga hukum. Setiap
lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide meresap kuat dan
tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan
yang lulus hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila
masyarakat menginginkan keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap
“The Law Job” perlu dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah
institusi adalah suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu
pekerjaan (job) atau sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai
pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk
melihat bahwa pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada
5 katagori yang harus diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan
tugasnya yaitu :
1.
Penentuan
kasus-kasus bermasalah :
kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan, dan sengketa. Hal ini dianggap the
law job adalah merupakan tempat/pusat untuk memperbaiki hukum yang dianggap
rusak atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang ada di
masyarakat.
2.
Pencegahan,
sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.
3.
Menghimpun
peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur prosedur-prosedur yang
menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong untuk itu, termasuk konstitusi;
4.
Bagian
positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak detail)
secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan
penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5.
Membuat
metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan
masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi
law job tersebut masyarakat membentuk suatu institusi yang disebut law and
government.
D.
SCANDINAVIAN
LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social
welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan
Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi
oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat
berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi mainstream dari
aliran ini, antara lain:
1)
Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan
melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang
disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu
pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri
pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat.oleh karena itu, keyakinan
tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban,
keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang
termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang
berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian
kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan
selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa
aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal
ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban
hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya
hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan
tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak
muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.
2)
Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti
yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana
hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua
lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi
pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian
abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi
atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan
aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan
kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum
adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat
terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa
instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan
kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena
pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena
itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat.
Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap
sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim.
3)
Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal
yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat
kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa
hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan
(termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta,
seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang tidak
sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi hukum
doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga
mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi,
sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun
demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah
dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal.
Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian,
dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap
keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa
dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari
penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga
hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam
aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona
membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat pasif),
dan performative (yang bersifat kreatif).
4)
Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya
adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang perkembangan
“aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan dalam
masyarakat kuno”.
5)
Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi
dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat disubtitusikan.
6)
Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis,
atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat
dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang
berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui
kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif
yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
7)
Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan
moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor utama yang
mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan
kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk
diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir,
apakah moral ataukah hukum.
8)
Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan kelompok
realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan
menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang
aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau
nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena menurut aliran
realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt, jurisprudence
haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian
individual atau metafisika.
1.
Perbedaan
Realisme Amerika dan Skandinavia
Meskipun sama-sama dalam satu aliran
Realisme, namun terdapat sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan
Amerika. Lloyd D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai
berikut:
1.
Realisme Amerika lebih
memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan
Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem
hukum secara keseluruhan.
2.
Skandinavia memang
merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling
depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi
atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori
dalam menemukan solusi atas problem hukum.
3.
Gerakan Realisme Skandinavia
dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih
dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.
2.
Pemikiran
Tokoh Scandinavian Realism
Aliran
Realisme Skandinavia digawangi oleh banyak tokoh, seperti Axel Hagerstrom yang
dianggap sebagai Bapak dari aliran ini.
Hagerstrom bukanlah ahli hukum, melainkan ahli filsafat yang memfokuskan
perhatian kepada hukum dan etika sebagai sumber yang subur bai metafisika. Dia
berambisi untuk menjadikan hukum sebagai alat bantu untuk mereorganisasi
masyarakat sebagaimana ilmu pengetahuan alam
telah berhasil mentransformasikan kehidupan manusia. Untuk mencapainya, dia
menganggap bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari mitos, teologi dan
metafisika. Logika dan bahasa hukum menurutnya dipenuhi oleh konsep-konsep
palsu. Oleh karena itu, untuk menghancurkan pengaruh metafisika transedental,
maka jalan untuk memulainya paling tepat adalah melalui hukum.
Hak,
kewajiban, kehendak negara, dan lain-lain merupakan permainan kata-kata belaka,
namun tampaknya ilmu hukum tidak bisa melepaskan diri darinya. Kesalahan ini
harus diperbaiki, dan teori obyektif tentang pengetahuan harus ditegakkan. Filsafat hukum baginya adalah sebuah
sosiologi hukum tanpa investigasi empirik, tapi dibangun di atas analisis
konseptual, historis dan prikologis. Tulisan Hagerstrom kebanyakan merupakan
kritik atas kesalahan cara berpikir hakim.
Di
samping itu, terdapat beberapa tokoh lain, yakni Ross, Olivecrona, Julius
Stone, Jhon Rawls, dan lain-lain. Makalah ini akan mencoba untuk lebih
menyoroti secara lebih mendalam atas pemikiran Olivecrona, dan dilanjutkan
ringkasan gagasan utama dari tokoh lainnya.
a.
Karl
Olivecrona (1897 - 1980)
Olivecrona adalah
seorang ahli hukum dan filsafat yang berkebangsan Swedia. Dia belajar hukum di
Universitas Upsala (1915-1920) dan menjadi murid Hagerstrom. Selanjutnya dia
menjadi professor di bidang prosedur hukum dan filsafat hukum di Universitas
Lund. Tulisan-tulisan beliau banyak menekankan kepada arti penting psikologi
dalam gagasan hukum.
Beberapa
pemikiran penting Olivecrona antara lain:
1)
Hukum sebagai
fakta
Dalam tulisan
yang dipublikasikan pertama pada tahun 1939, terdapat beberapa pemikiran
penting yang termuat di dalamnya, yakni:
a)
Binding force of law. Olivecrona meyakini bahwa hukum
berasal dari kreasi manusia. Hukum dibuat melalui proses legislasi atau oleh
orang biasa. Dengan kata lain, hukum dibuat melalui proses alami, yang
menghasilkan dampak yang alami juga dalam bentuk tekanan kepada masyarakat.
Aturan hukum dianggap sebagai tindakan hakim dalam memeriksa kasus-kasus
terkait dengan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang
lain. Dengan demikian, para pembuat hukum sebenarnya mempengaruhi dan membentuk
perilaku masyarakat.
Hukum merupakan kaitan antara sebab dan akibat, hukum
berada di antara waktu dan tempat. Sehingga baginya hukum yang dianggap berada
dalam proses alami dan efek alami, tidak dapat berada pula dalam di luar itu
(sesuatu yang metafisik).
Aturan hukum adalah gagasan tentang aksi imaginatif dari
hakim dalam situasi yang imaginatif. Hukum tidak berada di ruang hampa, namun
selalu terkait dengan situasi dan aturan lainnya, dimana keterkaitan ini selalu
dapat diteliti. Sebagai contoh, tuduhan terhadap pelaku pembunuhan harus
dikaitkan dengan persyaratan umur dari tertuduh, pemahaman dia tentang tuduhan
yang diarahkan kepadanya,
Dalam kontruksi pemikian yang demikian, maka daya mengikat
dari hukum muncul dari gagasan dalam alam pikiran manusia.
b)
Aturan hukum bukanlah perintah yang tepat/jelas. Ada 2
pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab oleh Olivecrane. Dari mana perintah
hukum berasal ? dan bagaimana perintah hukum seharusnya mengambil bentuk dalam
aturan hukum ?
Sebagaimana kaum relais lainnya Olivecrona meyakini bahwa
perintah hukum tidak berasal dari luar manusia. Namun untuk menjelaskan hal ini,
konotasi yang dibangun untuk menjelaskan karakteristik manusia yang mampu
memberikan perintah hukum tidak mungkin diasosiasikan kepada manusia secara
perseorangan, karena pemberi perintah hukum haruslah memenuhi kualifikasi super-human.
Secara empirik, konotasi ini diarahkan kepada negara.
Namun, dalam kenyataannya, negara bukanlah manusia. Negara
adalah sebuah organisasi pemerintahan yang menjalankan negara. Tidak mungkin
negara –dengan sendirinya- mengeluarkan perintah. Oleh karena itu, Olivecrona
mengatakan bahwa pemahaman yang tepat adalah bahwa perintah hukum muncul dari
individu-individu di dalam organisasi negara.
Terkait dengan aturan hukum sebagai perintah, pada dasarnya
perintah itu tidak sama dengan perintah yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain. Perintah individual ini biasanya terwujud dalam kalimat yang jelas
sesuai keinginan pemberi perintah, sehingga perintah individual ini menimbulkan
implikasi berupa munculnya hubungan personal. Model ini tidak muncul dalam
aturan normatif hukum. Perintah dalam aturan hukum muncul dalam dalam bentuk
perintah imaginatif yang dipahami oleh alam pikiran manusia.
c)
Ordinary legislation. Olivecrona berusaha menjawab
pertanyaan klasik tentang proses legislasi, bagaimana sebuah draft peraturan
yang pada dasarnya hanya merupakan serangkaian kalimat fiktif, dapat menjadi
aturan hukum dan memiliki dayat ikat ? Dia menjelaskan bahwa kekuatan dari
peraturan muncul dari kesepakatan awal yang tertuang dalam konstitusi yang
dipergunakan oleh negara-negara modern. Konstitusi disepakati sebagai pedoman
dasar dalam pengaturan masyarakat, dan mengikat seluruh warga negara.
Konstitusi menjelaskan prosedur pendelegasian kepada pihak tertentu untuk
menjalankan legislasi. Kesepakatan inilah yang selanjutnya menjadi kerangka
pemahaman dalam pemikiran warga negara yang menghasilkan kepatuhan atas produk
dari proses legislasi.
d)
Penggunaan kekuatan dalam organisasi negara. Penggunaan
kekuatan oleh organisasi negara dalam penerapan hukum merupakan sebuah
kepastian, baik untuk hukum pidana maupun perdata. Dalam konteks hukum perdata,
penggunaan kekuatan dimungkinkan jika terjadi pengingkaran terhadap putusan
hukum. Menurut Olivecrona, upaya untuk menanggalkan penggunaan kekuatan negara
atau menjadikan penggunaan kekuatan negara sebagai prioritas kedua dalam
penegakan hukum adalah sesuatu yang naif dan tidak berguna. Meskipun demikian,
Olivecrona juga mengatakan bahwa penggunaan kekuatan negara tidak harus selalu
dikedepankan, kekuatan atau kekerasan dapat disimpan sebagai background, namun
hal ini dapat berhasil jika kondisi masyarakat telah berada pada situasi
kedewasaan hukum.
e)
Hukum mengandung aturan tentang kekuatan. Pandangan
Olivecrona mengenai hal ini pada dasarnya memperjelas relasi antara hukum
dengan penggunaan kekuatan negara. Pada intinya, dia ingin mengatakan bahwa
kekuatan negara bukanlah penopang atau penjaga hukum. Namun, baginya, justru
penggunaan kekuatan negara itu menjadi bagian yang inheren dalam aturan hukum.
Bagaimana dalam koteks hukum perdata ? Memang dalam konteks hukum perdata yang
ditekankan adalah penggunaan unsur etis untuk memunculkan kepatuhan. Namun,
bagi Olivecrona faktor etis ini adalah merupakan bagian lain dari kekuatan
negara. Dan dalam hal ini, masyarakat harus mengupayakan agar perilaku mereka
sesuai dengan aturan hukum (dalam hukum perdata).
f)
Standard moral dan hukum. Bagi oleivecrona, asumsi bahwa
moral menjadi landasaan hukum, atau sumber inspirasi hukum, adalah tidak tepat.
Bahkan perdebatan tentang apakah ide keadilan itu menjadi landasan dan rujukan
bagi hukum juga dianggap tidak penting. Baginya, justru yang penting untuk
didiskusikan adalah apakah ide keadilan menjadi faktor utama dalam hukum,
ataukah ide keadilan justru dibentuk oleh hukum. Dalam hal ini, Olivecrona
meyakini bahwa hukum menjadi instrument pembentuk moralitas masyarakat,
meskipun dalam hal tertentu, karena hukum tidak bisa memprediksikan perkembangan
moral, maka dalam proses perubahan hukum, fakta tentang ide moral juga dapat
menjadi inspirasi perubahan. Dia menggarisbawahi pentingan pengaruh moral dari
hukum untuk mengoptimalkan efektifitasnya. Namun, dia juga mengingatkan bahwa
kita tidak boleh mengandalkan dampak moral yang terkandung dalam aturan hukum,
karena dampak moral ini bersifat sangat individual. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan daya atau pengaruh moral dari hukum agar dapat meluas kepada
masyarakat, maka dalam proses pembuatan hukum diperlukan upaya untuk memastikan
bahwa aturan hukum yang dibuat harus reasonable bagi mayoritas masyarakat,
ditunjang dengan penerapan sanksi secara konsisten dan imparsial. Dan
penggunaan kekuatan negara harus dilakukan dalam konteks propaganda untuk
menyiapkan kondisi psikologis masyarakat agar dapat menyerap dan melaksanakan
perintah hukum.
2)
Bahasa Hukum dan
Realitas
Hukum, keputusan pengadilan, maupun
kontrak berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia, sehingga penggunaan
bahasa hukum harus didasarkan kepada upaya pencapaian tujuan tersebut. Hal ini
disebut Olivecrona sebagai directive language, sebagai kebalikan dari reporting
language. oleh karena itu dia menyarankan agar dalam konteks hukum,
dipergunakan directive language dan menghindari reporting language.
Dalam penggunaan bahasa hukum, dia juga menekankan pentingnya
peltakan konteks yang tepat, karena dengannya, akan mampu menghasilkan efek
psikologis yang kuat. Peletakan konteks ini termasuk juga penggunaan institusi
atau orang yang tepat untuk melakukannya. Ibaratnya, pembuatan perintah oleh
orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk itu, tidak akan mampu menghasilkan
efek psikologis yang mampu mendorong masyarakat untuk mengikutinya. Untuk
mengilustrasikan pemikirannya ini, Olivecrona merujuk ilustrasi yang dibuat
oleh Austin dalam penamaan kapal Queen Elizabeth. Di samping itu, dia juga
membuat ilutrasi dalam bentuk pesta pernikahan. Terkait dengan ilustrasi ini,
dia menjelaskan lebih jauh bahwa pesta pernikahan memiliki efek psikologis yang
mengikat pasangan yang menikah, dan juga negara.
b.
Alf Ross (1899
- 1979)
Ross (ahli hukum
Denmark) berpendapat, bahwa hukum adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha
membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat
mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala
hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari
peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan
simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat
hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi
dari simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan
hukum , menurut Ross, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu
sistem paksaan yang actual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan
kecendrungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan
apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai
ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti
yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan
pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada
kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
c.
H.L.A. HART
(1907 - 1992)
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus
dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi eksternal,
berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa, sebagaimana dikatakan
Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah
dari penguasa itu secara batiniah.
Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan
skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum,
dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Nnorma
sekunder ini memsatikan syarat-syarat mengenai berlakunya norma primer dan
dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka
disebut petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka
norma-norma itu (rule of adjudication).
Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas
merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam
membahas tentang Groundnorm.
Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal
terhadap hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara
batiniah sepertiGroundnorm.
Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi
hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan
hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman penganut Positivisme Hukum, Hart
membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das
Sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek
formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material
tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
d.
Julius Stone
Julius Stone
memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna drai kenyataan sosial ini
dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah
dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud mengerjakan suatu
ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal
ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis
norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.
Pandangan Stone
tentang hukum tidak berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat hukum harus
dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, yang menagndung aspek moral
maupun tidak.
e.
John Rawls
(lahir 1921)
Rawls adalah
tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat
dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang
masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori
Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran
Utilitarianisme.
Uraian tentang
keadilan yang berasal dari John Rawls, dipandang sebagai teori yang
komprehansif sampai saat ini. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat
dari pemikiran Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering
dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.
Rawls
berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus
diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang
tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas
hidup manusia.
Hukum, menurut
pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang
tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan
Utilitarisme. Hal ini tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi
penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan
kepentingan individunya.
Secara garis
besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: Pertama,
kebebasan yang sama besarnya. Kedua, perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil
atas kesempatan.
I.
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal berikut ini:
1.
Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu merenungkan kembali penerapan sistem hukum
serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah yang seharusnya.
2.
Kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam filsafat hukum selalu
berjalan seiring dengan dialektika sejarah terutama menyangkut peran hukum
dalam proses kehidupan kenegaraan. Perkembangan politik, dan relasi kekuasaan
dengan masyarakat selalu menjadi latar belakang penting yang membayangi evolusi
aliran filsafat hukum.
3.
Aliran Legal Realism muncul sebagai reaksi atas aliran hukum alam dan legal
positivism. Konsepsi yang dibangun oleh aliran ini dipengaruhi sebagian oleh
pandangan-pandangan dari aliran utilaterianism.
4.
Aliran legal realism dapat dibagi menjadi 2 bagian; pertama aliran legal
realism Amerika, dan kedua, aliran legal realism Skandinavia.
5.
Aliran legal realism
Amerika menitik beratkan pandangan bahwa :
A.
hukum tidak statis
dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan perkembangan jamannya
dan dinamika masyarakat dan menempatkan hakim sebagi titik pusat perhatian dan
penyelidikan hukum sehingga hakim harus menggali hukum dan menemukan hukum.
B.
Aliran legal realism
Amerika memandang bahwa hal penting yang
berpengaruh dalam pembentukan hukum adalah logika, prasangka, dan gejolak yang
terjadi dalam masyarakat.
C.
Aliran Legal realism
Amerika adalah merupakan hasil pendekatan secara pragmatis, empiris dan menganggap
hukum itu harus bersih dari nilai-nilai
6.
Aliran legal realism Scandinavia menitikberatkan pandangan bahwa:
A.
Hukum adalah fakta dan hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa
diobservasi. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran
hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan
dari khayalan dan dunia metafisika. Hak dan kewajiban hanyalah merupakan
konklusi hukum, bukan sesuatu yang muncul dari kekuatan di luar manusia. Dia
mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum
bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut.
Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari
das Sein.
B.
Validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang
disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan,
yang dimaksudkan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Norma hukum
utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk
kepada hakim. Semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin
sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki
kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa
hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat.
C.
Kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang
fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa
hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi
negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya,
dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan
psikologis terhadap masyarakat.
D.
Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama
karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya.
7.
Meskipun sama berada dalam satu aliran, terdapat perbedaan antara
realisme Amerika dan Skandinavia sebagai berikut:
A.
Realisme Amerika lebih
memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan
Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem
hukum secara keseluruhan.
B.
Skandinavia memang
merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling
depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi
atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori
dalam menemukan solusi atas problem hukum.
C.
Gerakan Realisme Skandinavia
dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih
dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.
DAFTAR PUSTAKA
Bismar Siregar, 1989, Rasa
Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya.
Muchsan, 1985, Hukum
Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Leon Duguit, 1919, Law
in the Modern State, Limited Amsterdam University
Azizy, A. Qadri,
Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi
antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta,
2002
Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas
Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990)
Soerjono Soekanto, Perspektif
Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985
Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999
[1] Azizy,
A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional,
Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002, cet I h. 205.
[2] Azizy,
A. Qadri, Op Cit, h. 206.
[3] Friedmann,
W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan
Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990) Cet ke 1 h. 187.
[4] Ibid, h. 189
[5]
Lihat, Friedmann, W. OpCit, h.191-192.
[6] Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Cet I h. 33
[7] Azizy, A. Qadri, Op Cit. h. 207-208
[8] Azizy,
A. Qadri, Op Cit, h.209.
[9] Leod,
Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press
Ltd, 1999, h. 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar