Selasa, 20 Maret 2012

LEGAL REALISM


LEGAL REALISM
Oleh. Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar

A.    Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan  ini merupakan problem yang sukar dipecahkan bagi pengikut positivism.[1]
Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan  (positive morality). Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957) dan seorang ahli ilmu sosial,  Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962),  melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif  didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang tertulis [2].
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik.  idealisme hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis  dan sebagian sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan hukum modern.[3] Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.[4]
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1.    Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran     dan kerja tentang hukum.
2.    Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4.  Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-     konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.[5]
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.[6]
 Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya,[7]  
Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn antara lain:
1.      Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2.      Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3.      Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4.      Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”
5.      Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap hukum.
6.      Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan.
7.      Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan tidak nyata.
8.      Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek tersebut[8]
        Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.[9]

B.          Gerakan Kelompok Realis dalam Hukum
Frank mengklasifikasikan kelompok realis ke dalam 2 kubu, pertama kubu "rule skeptic", yakni kelompok yang menganggap ketidakpastian hukum hanya ada di dalam undang-undang dan berusaha menemukan keseragaman dalam pola perilaku peradilan. Kubu kedua "fact-skeptic" yang beranggapan bahwa unpredictabilitas putusan pengadilan hanya ada dalam fakta-fakta yang sukar dipahami. Pengklasifikasian ke dalam 2 kelompok oleh Frank ini, mendapatkan respon dari Rumble yang menemukan ada satu kelompom lagi yakni "oppinion-skepticism" atau yang lebih dimenal dengan "judicial hunch". Kelompok ini meyakini bahwa penalaran hukum hanyalah sebuah pengambilan keputusan ex post facto, rasionalisasi belaka, dan dimaksudkan untuk membuat kuputusan hakim tampak masuk akal, legal, dan tak terelakkan. Untuk meperkuat thesisnya, Frank membuat statement yang efektif dengan mengatakan bahwa pendekatan text-book, yang memperlakukan hukum haya sebagai kumpulan norma yang abstrak, adalah salah arah, dan bahwa ketidakpastian hukum adakah sesuatu yang inhern, bukan kesalahan yang disengaja.
Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim. Realisme Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah hukum. Realisme Scandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
C.              AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
 Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika, dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya sekedar dijadikan pertimbangan. 
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan dalam menafsirkan hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. “Formal Style” seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang , Formal Style tidak perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad 19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu tanggaapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga masyarakat dapat menerimanya.  
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence  apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun  hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law” menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes kehilangan banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan dengan hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing manipulasi lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :
1.    Penentuan kasus-kasus bermasalah :  kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan, dan sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat untuk memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang ada di masyarakat.
2.    Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.
3.    Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong untuk itu, termasuk konstitusi;
4.    Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5.    Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut masyarakat membentuk suatu institusi yang disebut law and government. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
D.            SCANDINAVIAN LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:
1)      Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.  
2)      Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran hakim.       
3)      Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4)      Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan dalam masyarakat kuno”.  
5)      Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat disubtitusikan.
6)      Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
7)      Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
8)      Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif. Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.
1.      Perbedaan Realisme Amerika dan Skandinavia
 Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme, namun terdapat sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan Amerika. Lloyd D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
1.      Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
2.      Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hukum.
3.      Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.
2.      Pemikiran Tokoh Scandinavian Realism
Aliran Realisme Skandinavia digawangi oleh banyak tokoh, seperti Axel Hagerstrom yang dianggap sebagai Bapak dari aliran ini.  Hagerstrom bukanlah ahli hukum, melainkan ahli filsafat yang memfokuskan perhatian kepada hukum dan etika sebagai sumber yang subur bai metafisika. Dia berambisi untuk menjadikan hukum sebagai alat bantu untuk mereorganisasi masyarakat sebagaimana ilmu pengetahuan alam telah berhasil mentransformasikan kehidupan manusia. Untuk mencapainya, dia menganggap bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari mitos, teologi dan metafisika. Logika dan bahasa hukum menurutnya dipenuhi oleh konsep-konsep palsu. Oleh karena itu, untuk menghancurkan pengaruh metafisika transedental, maka jalan untuk memulainya paling tepat adalah melalui hukum.
Hak, kewajiban, kehendak negara, dan lain-lain merupakan permainan kata-kata belaka, namun tampaknya ilmu hukum tidak bisa melepaskan diri darinya. Kesalahan ini harus diperbaiki, dan teori obyektif tentang pengetahuan harus ditegakkan.  Filsafat hukum baginya adalah sebuah sosiologi hukum tanpa investigasi empirik, tapi dibangun di atas analisis konseptual, historis dan prikologis. Tulisan Hagerstrom kebanyakan merupakan kritik atas kesalahan cara berpikir hakim.
Di samping itu, terdapat beberapa tokoh lain, yakni Ross, Olivecrona, Julius Stone, Jhon Rawls, dan lain-lain. Makalah ini akan mencoba untuk lebih menyoroti secara lebih mendalam atas pemikiran Olivecrona, dan dilanjutkan ringkasan gagasan utama dari tokoh lainnya.
a.      Karl Olivecrona (1897 - 1980)
Olivecrona adalah seorang ahli hukum dan filsafat yang berkebangsan Swedia. Dia belajar hukum di Universitas Upsala (1915-1920) dan menjadi murid Hagerstrom. Selanjutnya dia menjadi professor di bidang prosedur hukum dan filsafat hukum di Universitas Lund. Tulisan-tulisan beliau banyak menekankan kepada arti penting psikologi dalam gagasan hukum.
Beberapa pemikiran penting Olivecrona antara lain:
1)      Hukum sebagai fakta
Dalam tulisan yang dipublikasikan pertama pada tahun 1939, terdapat beberapa pemikiran penting yang termuat di dalamnya, yakni:
a)      Binding force of law. Olivecrona meyakini bahwa hukum berasal dari kreasi manusia. Hukum dibuat melalui proses legislasi atau oleh orang biasa. Dengan kata lain, hukum dibuat melalui proses alami, yang menghasilkan dampak yang alami juga dalam bentuk tekanan kepada masyarakat. Aturan hukum dianggap sebagai tindakan hakim dalam memeriksa kasus-kasus terkait dengan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, para pembuat hukum sebenarnya mempengaruhi dan membentuk perilaku masyarakat.
Hukum merupakan kaitan antara sebab dan akibat, hukum berada di antara waktu dan tempat. Sehingga baginya hukum yang dianggap berada dalam proses alami dan efek alami, tidak dapat berada pula dalam di luar itu (sesuatu yang metafisik).
Aturan hukum adalah gagasan tentang aksi imaginatif dari hakim dalam situasi yang imaginatif. Hukum tidak berada di ruang hampa, namun selalu terkait dengan situasi dan aturan lainnya, dimana keterkaitan ini selalu dapat diteliti. Sebagai contoh, tuduhan terhadap pelaku pembunuhan harus dikaitkan dengan persyaratan umur dari tertuduh, pemahaman dia tentang tuduhan yang diarahkan kepadanya, 
Dalam kontruksi pemikian yang demikian, maka daya mengikat dari hukum muncul dari gagasan dalam alam pikiran manusia.
b)      Aturan hukum bukanlah perintah yang tepat/jelas. Ada 2 pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab oleh Olivecrane. Dari mana perintah hukum berasal ? dan bagaimana perintah hukum seharusnya mengambil bentuk dalam aturan hukum ?
Sebagaimana kaum relais lainnya Olivecrona meyakini bahwa perintah hukum tidak berasal dari luar manusia. Namun untuk menjelaskan hal ini, konotasi yang dibangun untuk menjelaskan karakteristik manusia yang mampu memberikan perintah hukum tidak mungkin diasosiasikan kepada manusia secara perseorangan, karena pemberi perintah hukum haruslah memenuhi kualifikasi super-human. Secara empirik, konotasi ini diarahkan kepada negara.
Namun, dalam kenyataannya, negara bukanlah manusia. Negara adalah sebuah organisasi pemerintahan yang menjalankan negara. Tidak mungkin negara –dengan sendirinya- mengeluarkan perintah. Oleh karena itu, Olivecrona mengatakan bahwa pemahaman yang tepat adalah bahwa perintah hukum muncul dari individu-individu di dalam organisasi negara.
Terkait dengan aturan hukum sebagai perintah, pada dasarnya perintah itu tidak sama dengan perintah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Perintah individual ini biasanya terwujud dalam kalimat yang jelas sesuai keinginan pemberi perintah, sehingga perintah individual ini menimbulkan implikasi berupa munculnya hubungan personal. Model ini tidak muncul dalam aturan normatif hukum. Perintah dalam aturan hukum muncul dalam dalam bentuk perintah imaginatif yang dipahami oleh alam pikiran manusia.
c)      Ordinary legislation. Olivecrona berusaha menjawab pertanyaan klasik tentang proses legislasi, bagaimana sebuah draft peraturan yang pada dasarnya hanya merupakan serangkaian kalimat fiktif, dapat menjadi aturan hukum dan memiliki dayat ikat ? Dia menjelaskan bahwa kekuatan dari peraturan muncul dari kesepakatan awal yang tertuang dalam konstitusi yang dipergunakan oleh negara-negara modern. Konstitusi disepakati sebagai pedoman dasar dalam pengaturan masyarakat, dan mengikat seluruh warga negara. Konstitusi menjelaskan prosedur pendelegasian kepada pihak tertentu untuk menjalankan legislasi. Kesepakatan inilah yang selanjutnya menjadi kerangka pemahaman dalam pemikiran warga negara yang menghasilkan kepatuhan atas produk dari proses legislasi.
d)     Penggunaan kekuatan dalam organisasi negara. Penggunaan kekuatan oleh organisasi negara dalam penerapan hukum merupakan sebuah kepastian, baik untuk hukum pidana maupun perdata. Dalam konteks hukum perdata, penggunaan kekuatan dimungkinkan jika terjadi pengingkaran terhadap putusan hukum. Menurut Olivecrona, upaya untuk menanggalkan penggunaan kekuatan negara atau menjadikan penggunaan kekuatan negara sebagai prioritas kedua dalam penegakan hukum adalah sesuatu yang naif dan tidak berguna. Meskipun demikian, Olivecrona juga mengatakan bahwa penggunaan kekuatan negara tidak harus selalu dikedepankan, kekuatan atau kekerasan dapat disimpan sebagai background, namun hal ini dapat berhasil jika kondisi masyarakat telah berada pada situasi kedewasaan hukum.
e)      Hukum mengandung aturan tentang kekuatan. Pandangan Olivecrona mengenai hal ini pada dasarnya memperjelas relasi antara hukum dengan penggunaan kekuatan negara. Pada intinya, dia ingin mengatakan bahwa kekuatan negara bukanlah penopang atau penjaga hukum. Namun, baginya, justru penggunaan kekuatan negara itu menjadi bagian yang inheren dalam aturan hukum. Bagaimana dalam koteks hukum perdata ? Memang dalam konteks hukum perdata yang ditekankan adalah penggunaan unsur etis untuk memunculkan kepatuhan. Namun, bagi Olivecrona faktor etis ini adalah merupakan bagian lain dari kekuatan negara. Dan dalam hal ini, masyarakat harus mengupayakan agar perilaku mereka sesuai dengan aturan hukum (dalam hukum perdata).
f)       Standard moral dan hukum. Bagi oleivecrona, asumsi bahwa moral menjadi landasaan hukum, atau sumber inspirasi hukum, adalah tidak tepat. Bahkan perdebatan tentang apakah ide keadilan itu menjadi landasan dan rujukan bagi hukum juga dianggap tidak penting. Baginya, justru yang penting untuk didiskusikan adalah apakah ide keadilan menjadi faktor utama dalam hukum, ataukah ide keadilan justru dibentuk oleh hukum. Dalam hal ini, Olivecrona meyakini bahwa hukum menjadi instrument pembentuk moralitas masyarakat, meskipun dalam hal tertentu, karena hukum tidak bisa memprediksikan perkembangan moral, maka dalam proses perubahan hukum, fakta tentang ide moral juga dapat menjadi inspirasi perubahan. Dia menggarisbawahi pentingan pengaruh moral dari hukum untuk mengoptimalkan efektifitasnya. Namun, dia juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengandalkan dampak moral yang terkandung dalam aturan hukum, karena dampak moral ini bersifat sangat individual. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan daya atau pengaruh moral dari hukum agar dapat meluas kepada masyarakat, maka dalam proses pembuatan hukum diperlukan upaya untuk memastikan bahwa aturan hukum yang dibuat harus reasonable bagi mayoritas masyarakat, ditunjang dengan penerapan sanksi secara konsisten dan imparsial. Dan penggunaan kekuatan negara harus dilakukan dalam konteks propaganda untuk menyiapkan kondisi psikologis masyarakat agar dapat menyerap dan melaksanakan perintah hukum.
2)      Bahasa Hukum dan Realitas
Hukum, keputusan pengadilan, maupun kontrak berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia, sehingga penggunaan bahasa hukum harus didasarkan kepada upaya pencapaian tujuan tersebut. Hal ini disebut Olivecrona sebagai directive language, sebagai kebalikan dari reporting language. oleh karena itu dia menyarankan agar dalam konteks hukum, dipergunakan directive language dan menghindari reporting language.
Dalam penggunaan bahasa hukum, dia juga menekankan pentingnya peltakan konteks yang tepat, karena dengannya, akan mampu menghasilkan efek psikologis yang kuat. Peletakan konteks ini termasuk juga penggunaan institusi atau orang yang tepat untuk melakukannya. Ibaratnya, pembuatan perintah oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk itu, tidak akan mampu menghasilkan efek psikologis yang mampu mendorong masyarakat untuk mengikutinya. Untuk mengilustrasikan pemikirannya ini, Olivecrona merujuk ilustrasi yang dibuat oleh Austin dalam penamaan kapal Queen Elizabeth. Di samping itu, dia juga membuat ilutrasi dalam bentuk pesta pernikahan. Terkait dengan ilustrasi ini, dia menjelaskan lebih jauh bahwa pesta pernikahan memiliki efek psikologis yang mengikat pasangan yang menikah, dan juga negara.

b.      Alf Ross (1899 - 1979)
Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
c.       H.L.A. HART (1907 - 1992)
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa, sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma itu (rule of adjudication).
Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah sepertiGroundnorm.
Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
d.      Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.
Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.
e.       John Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.
Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls, dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum.
Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas hidup manusia.
Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.
Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua, perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.
                   I.            PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1.      Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu  merenungkan kembali penerapan sistem hukum serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah yang seharusnya.
2.      Kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam filsafat hukum selalu berjalan seiring dengan dialektika sejarah terutama menyangkut peran hukum dalam proses kehidupan kenegaraan. Perkembangan politik, dan relasi kekuasaan dengan masyarakat selalu menjadi latar belakang penting yang membayangi evolusi aliran filsafat hukum.
3.      Aliran Legal Realism muncul sebagai reaksi atas aliran hukum alam dan legal positivism. Konsepsi yang dibangun oleh aliran ini dipengaruhi sebagian oleh pandangan-pandangan dari aliran utilaterianism.
4.      Aliran legal realism dapat dibagi menjadi 2 bagian; pertama aliran legal realism Amerika, dan kedua, aliran legal realism Skandinavia.
5.      Aliran legal realism Amerika menitik beratkan pandangan bahwa :
A.    hukum tidak statis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan perkembangan jamannya dan dinamika masyarakat dan menempatkan hakim sebagi titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum sehingga hakim harus menggali hukum dan menemukan hukum.
B.     Aliran legal realism Amerika memandang bahwa hal penting yang berpengaruh dalam pembentukan hukum adalah logika, prasangka, dan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
C.     Aliran Legal realism Amerika adalah merupakan hasil pendekatan secara pragmatis, empiris dan menganggap hukum itu harus bersih dari nilai-nilai
6.      Aliran legal realism Scandinavia menitikberatkan pandangan bahwa:
A.    Hukum adalah fakta dan hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika. Hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum, bukan sesuatu yang muncul dari kekuatan di luar manusia. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.  
B.     Validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksudkan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk kepada hakim. Semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat.
C.     Kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
D.    Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya.
7.      Meskipun sama berada dalam satu aliran, terdapat perbedaan antara realisme Amerika dan Skandinavia sebagai berikut:
A.    Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
B.     Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem hukum.
C.     Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.




DAFTAR PUSTAKA
Bismar Siregar, 1989, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya.
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Leon Duguit, 1919, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002
Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990)
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985
Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999



[1]     Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002, cet I h. 205.
[2]     Azizy, A. Qadri, Op Cit, h. 206.
[3]     Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990) Cet ke 1 h. 187.
[4]     Ibid, h. 189
[5] Lihat,  Friedmann, W. OpCit, h.191-192.
[6] Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Cet I h. 33
[7] Azizy, A. Qadri, Op Cit. h. 207-208
[8]     Azizy, A. Qadri, Op Cit, h.209.
[9]     Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999, h. 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar