Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.
Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.
Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hokum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.
E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:berlakunya hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.
Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.
L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar